kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Brexit masih mengundang polemik


Rabu, 10 Februari 2016 / 06:05 WIB
Brexit masih mengundang polemik


Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

LONDON. Rencana Inggris hengkang dari Uni Eropa atau dikenal dengan istilah British exit (Brexit) masih mengundang pro kontra. Salah satunya, semisal, menilai, Brexit bakal menjadi berkah tersendiri bagi pemegang surat utang Pemerintah Inggris.

Jika kelak Inggris cabut dari Uni Eropa, ada kemungkinan Bank Sentral Inggris meluncurkan kebijakan kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga ini bakal menjadi stimulus jangka pendek bagi para pemegang surat utang Pemerintah Inggris yang bernilai total US$ 2,1 triliun.

Investor asing terjebak membeli surat utang Pemerintah Inggris ketika referendum kemerdekaan Skotlandia pada tahun 2014. Mereka memecahkan rekor lewat pembelian £ 29,6 miliar obligasi Inggris sepanjang periode tiga bulan terakhir di tahun 2014.

Jamie Searle, Ahli Strategis Fixed Income Citi mengatakan, jika Brexit menang inflasi Inggris bakal naik ke level 4% dan komite kebijakan moneter Bank Sentral Inggris mungkin harus mulai menaikkan suku bunga.

"Dalam skenario terburuk, imbal hasil acuan surat utang 10 tahun Inggris bisa naik 1% dibandingkan dengan surat utang Amerika," kata Searle.

Saat ini, imbal hasil surat utang Inggris bertenor lima tahun menyentuh harga paling rendah dalam tiga tahun terakhir.

Namun, Francis Diamond, Strategis JPMorgan berpendapat, imbal hasil cenderung rontok 0,15%–0,20% kalau suara Inggris menyatakan keluar dari Uni Eropa. Berdasarkan perhitungan Reuters, investor asing mengantongi lebih dari seperempat surat utang Pemerintah Inggris.

Diamond menambahkan, skenario yang lebih dekat, surat utang Inggris untuk jangka waktu 10 tahun, imbal hasilnya bisa jatuh ke level 0,10%.

Dukungan tolak Brexit

Seperti dilansir Reuters, Perdana Menteri Inggris David Cameron telah menyepakati garis besar reformasi Uni Eropa yang akan ia lempar kepada pemilih Inggris dalam referendum Juni 2016 mendatang.

Sejauh ini, jajak pendapat cenderung menyerukan agar Inggris keluar dari Uni Eropa meskipun sejumlah ekonom menyatakan, Brexit akan merugikan pertumbuhan ekonomi Inggris dalam jangka pendek.

"Terlepas bagaimana hasilnya nanti, Brexit akan menjadi hambatan bagi pertumbuhan dan menunda keputusan untuk berinvestasi," terang Dave Chappell dari Columbia Threadneedle Investment seperti diberitakan Reuters, Selasa (9/2).

Sebelumnya, Mark Carney, Gubernur Bank Sentral Inggris telah mengingatkan kepada masyarakat Inggris mengenai skenario terburuk pasca Brexit, yakni depresiasi poundsterling akibat hengkangnya investor asing.

"Jika kampanye Inggris keluar dari Uni Eropa menang, nilai tukar mata uang dipertanyakan. Kombinasi ini menghasilkan ketakutan dan kurva yield curam," imbuh Chappell.

Rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa memang mengundang komentar dari berbagai kalangan. Para pebisnis umumnya tak sependapat dengan Brexit.

Carolyn McCall, Kepala Eksekutif Maskapai EasyJet mengatakan, akan sulit bagi Pemerintah Inggris bernegosiasi dengan 27 anggota negara Uni Eropa lain untuk mendapatkan hak terbang yang kini dimiliki EasyJet di Uni Eropa, bila kelak cabut.

Senada, Michael O'Leary, Direktur Eksekutif Ryanair menyatakan, pihaknya mendukung kampanye menjaga Inggris tetap menyatu dalam Uni Eropa. "Sama sekali tidak ada keraguan bahwa ekonomi Inggris jauh lebih baik di Eropa daripada keluar dari bagian Uni Eropa," ucap O'Leary.

Ian Robertson, Direktur Penjualan dan Pemasaran BMW menambahkan, Inggris memiliki industri otomotif yang paling beragam di antara negara Eropa dan merupakan pasar keempat terbesar BMW Group di seluruh dunia. "Akan sangat menyesal melihat Inggris meninggalkan Eropa," ujar Robertson.

Mewakili sektor keuangan, James Bardrick, Kepala Citi Inggris menjelaskan, apabila Brexit terjadi, Citi harus mengubah operasional bisnis dan merelokasi kembali ke Uni Eropa.

Secara teknis hal ini mungkin dilakukan, namun biayanya sangat mahal dan tidak efisien. Sedangkan Ben van Beurden, Direktur Royal Dutch Shell RDSa.L menyebut, Brexit sangat tidak menguntungkan bagi bisnis perusahaannya lantaran mempengaruhi ruang gerak.




TERBARU

[X]
×