kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45982,54   -7,83   -0.79%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Fokus menggarap pasar sepatu di AS (3)


Kamis, 21 April 2016 / 11:50 WIB
Fokus menggarap pasar sepatu di AS (3)


Reporter: Arsy Ani Sucianingsih | Editor: Tri Adi

Di saat banyak pebisnis sepatu asal Amerika Serikat membuka pabrik di berbagai negara untuk mengembangkan pasar, James S. Davis, sang pemilik New Balance, tetap fokus menggarap pasar dalam negerinya. Ia hanya memperkuat promosi produk. Pria yang akrab disapa Jim Davis tersebut mempercayakan para atlet-atlet papan atas menjadi duta produknya dan sama sekali tidak tertarik menggunakan jasa selebritis seperti yang dilakukan para pesaing.

New Balance telah berkembang pesat menjadi merek pakaian dan peralatan atletik sejak James "Jim" Davis membelinya pada tahun 1972. Penjualan New Balance tahun 2014 tercatat sebesar US$ 3,3 miliar, atau naik 21% dari tahun sebelumnya.

Jim beserta sang istri, Anne Davis, berkomitmen untuk mengembangkan pasar di dalam negeri, yakni Amerika Serikat (AS). Fakta menunjukkan bahwa New Balance adalah satu-satunya produsen sepatu yang masih berproduksi AS.

New Balance memiliki enam pabrik manufaktur AS. Perusahaan bernama lengkap New Balance Atlethic Shoe Inc tersebut menempatkan pusat distribusi di AS.

Jim mengusung konsep pemasaran yang berbeda dari para pesaingnya dari sisi promosi. Bila pesaing New Balance banyak memakai jasa selebritis dengan bayaran sangat mahal, New Balance justru lebih mengandalkan promosi para atlet sebagai motor penggerak bisnisnya.

Di dalam negeri, Jim dapat dengan bebas dan leluasa melebarkan sayap bisnis serta mengembangkan pusat layanan dan promosi. Keuntungan tersebut membulatkan niat Jim untuk semakin mempercepat proses produksi barang dan meningkatkan kualitas sepatu. Asal tahu saja, di AS pasar sepatu potensi pangsa pasar produk alas kaki ini mencapai US$ 55 miliar.

Untuk menguasai pangsa pasar ini, New Balance telah mengadopsi model produksi manufaktur berskala tinggi, walaupun itu harus ditebus dengan biaya yang tidak sedikit.

Sebagai catatan, pada awal tahun 2000-an, New Balance menegaskan rencana untuk mengoptimalkan jumlah skala produksinya dengan model bisnis padat karya. Jim lantas menerapkan strategi New Balance Executional Excellence (NB2E) yang mendorong para karyawan untuk meningkatkan prestasi kerja. Jim mengatakan, konsep ini mampu mendorong New Balance menggeber produksi sekaligus mendapatkan efisiensi dari kegiatan operasional.

Jim telah menerapkan pembekalan metode kerja, lewat pelatihan karyawan yang membutuhkan waktu selama 100 jam. Hasil pelatihan itu bisa dipetik. Produksi yang awalnya membutuhkan waktu sekitar sembilan jam untuk mengerjakan sepasang sepatu, kini berhasil beberapa jam saja.

Dengan waktu pengerjaan yang lebih singkat, kata Jim, hal tersebut juga berimbas pada mekanisme pengiriman barang yang semakin efisien dan cepat.

Menurut Jim, New Balance dapat mempersiapkan pesanan para pengecer dalam waktu 24 jam. Hal ini memudahkan pengecer dalam mengelola kapasitas persediaan barang agar tidak habis sama sekali.

Lain ceritanya kalau para pengecer mengimpor produk dan barang pesanan baru sebulan kemudian datang setelah tanggal pemesanan.

Program NB2E yang digagas Jim tak sia-sia. Program tersebut telah mendorong produktivitas para pekerjanya.

Sekadar informasi, tahun lalu perusahaan ini telah membuka kantor pusat baru di Boston. Jim merekrut banyak tenaga muda yang memiliki visi mengembangkan New Balance ke arah yang semakin baik.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, tak cuma menghormati jajaran eksekutif, Jim juga dikenal sebagai CEO yang menaruh apresiasi tinggi terhadap karyawan level bawah, yakni buruh pabrik. Jim selalu membuat aturan yang bisa memberikan kenyamanan bagi para pekerja. “Pekerja di pabrik tidak berbeda dengan orang yang duduk di kantor dengan jabatan yang tinggi,” kata Jim seperti dikutip Sports Business Daily.               

(Bersambung)




TERBARU

[X]
×