Hendra Martono, jadi pedagang dan peternak saham

Sabtu, 29 April 2017 | 15:12 WIB   Reporter: Narita Indrastiti
Hendra Martono, jadi pedagang dan peternak saham


JAKARTA. Suatu hari, pada tahun 1991, saat sedang menjaga toko kelontong milik ayahnya di Surabaya, Hendra Martono membaca artikel di koran bekas yang bercerita tentang seorang pakar saham, John Bollinger. Hendra yang kala itu masih duduk di bangku SMA, terinspirasi dengan kesuksesan Bollinger yang menemukan teori teknikal saham Bollinger Band.

Semenjak itulah, Hendra yang kini menjabat sebagai Direktur di PT Henan Putihrai, ingin terus mendalami dunia pasar modal, meski secara otodidak.

Investasi pertamanya di saham dimulai pada tahun 1997 dengan modal Rp 5 juta. Lulusan Pariwisata Universitas Petra Surabaya ini mengaku, investasinya itu berkembang cepat dalam setahun menjadi Rp 60 juta. Namun, saat terjadi kerusuhan tahun 1998 dan pasar saham anjlok, nilainya turun menjadi Rp 20 juta. "Tetapi, bisa dikatakan saya masih untung karena awalnya hanya bermodal Rp 5 juta," ujarnya.

Di waktu yang sama, krisis membuat ia tak lagi bekerja, karena usaha tour and travel yang ia jalani gulung tikar. Setelah mendapatkan pekerjaan lagi pada 1999, uang Rp 20 juta dari ayahnya dibenamkan lagi di saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP). "Ayah saya bilang, orang kalau sudah dikasih rokok Dji Sam Soe, tidak akan mau pindah ke merek lain," kenangnya.

Sembari bekerja di bidang pariwisata, ia disiplin berinvestasi di saham dan membeli beberapa saham termasuk PT Astra International Tbk (ASII). Demi berinvestasi di saham, pria yang akrab disapa Hok Hwan ini menahan diri untuk membeli sepeda motor ataupun mobil. "Saya sampai lupa pernah punya saham HMSP. Hingga pada tahun 2002, saya baru ingat punya saham itu," ujarnya.

Ternyata, nilai uang yang ada di saham HMSP berkembang dari Rp 20 juta menjadi Rp 210 juta. "Saya kaget sekali. Karena awalnya saya pikir hanya naik dua kali lipat. Ternyata, HMSP melakukan stock split, sehingga harga saham itu sudah naik 10 kali lipat," ujarnya.

Ia juga berinvestasi untuk kebutuhan keluarga dalam jangka panjang. Misalnya, untuk pendidikan anak, Hendra berinvestasi di saham PT Pakuwon Jati Tbk (PWON). Sementara untuk istrinya, ia membeli saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).

 

Strategi ternak saham

Hendra mengatakan, ia lebih suka disebut sebagai pedagang saham dibandingkan pemain saham. "Karena memang saya benar-benar berdagang saham, bukan cuma main-main," ujar pria berusia 47 tahun ini. Bahkan, ia mengembangkan teori teknikal saham yang ia sebut The Hok1 Bands. Menurutnya, teori ini bisa menentukan secara akurat saham apa yang bagus, dan timing jual belinya.

Untuk mendapat cuan maksimal, ia tidak semata-mata buy and hold, namun menerapkan strategi ternak saham, yakni trading dan membeli saham berfundamental bagus dengan range harga cukup lebar. Ia mencontohkan, saat belanja PWON 100 lot di harga Rp 500 per saham. Ketika harga Rp 555, dia melepasnya. Saat PWON kembali ke Rp 500 dan menjadi support kuat, ia membeli lagi dan mendapat 10 lot lebih banyak. Maka lot bertambah 10%.

"Dengan metode ini, selisih keuntungannya bisa mencapai 60%-150% jika dibandingkan menggunakan metode buy and hold," ujarnya. Ia sudah mencoba ternak saham di HMSP, PWON, AKRA, BMRI, BBRI, dan ASII. Metode ini bisa digunakan untuk saham-saham dengan EPS yang tumbuh lima tahun berturut-turut dan memiliki net profit margin minimal 20%.

Jika ada ungkapan "Jangan menaruh telur dalam satu keranjang", Hendra justru menaruh telurnya di satu keranjang dan berusaha menjaganya baik-baik. Kalau kondisi kurang bagus, ia akan memindahkan ke reksadana pasar uang.

 

Mengedukasi agar mudah dimengerti

Bagi Hendra, kesuksesan tidak sekedar dimaknai dari berapa jumlah uang yang dimiliki. Hendra memiliki misi lebih besar di bidang pasar modal, yakni mengedukasi masyarakat untuk giat berinvestasi di saham.

Edukasi ini dilakukan dengan berbagai cara seperti workshop, termasuk mengajar rutin di Sekolah Pasar Modal Bursa Efek Indonesia. Ibu dan ayahnya menjadi sumber inspirasi Hendra untuk menyebarkan kebaikan dengan mengajar tentang pasar modal. "Ibu saya pernah berpesan untuk menyebarkan kabar baik soal saham ini, karena saya sudah menikmati hasilnya," ujarnya.

Ia bilang, jumlah investor pasar modal masih sangat sedikit. Padahal, dengan berinvestasi di saham, seseorang bisa turut memiliki suatu perusahaan dan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari kenaikan harga barang atau inflasi. "Sampai saat ini masih banyak yang berpikir bahwa main saham adalah judi. Padahal bukan," kata ayah seorang putera ini.

Untuk memberikan edukasi ini, Hendra memiliki metode sendiri. Ia menyederhanakan pembelajaran trading saham yang tadinya rumit menjadi lebih mudah dimengerti.

Wajar jika peserta workshop berasal dari kalangan anak muda, bahkan ada yang masih berusia 12 tahun. "Ayah saya selalu berpesan, kalau mengajar, usahakan dengan sejelas-jelasnya sampai anak kecil pun memahaminya," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia

Terbaru