kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kemdag terapkan HET tanpa toleransi


Sabtu, 23 September 2017 / 15:41 WIB
Kemdag terapkan HET tanpa toleransi


Reporter: Abdul Basith, Lidya Yuniartha | Editor: Rizki Caturini

KONTAN.CO.ID - Kementerian Perdagangan (Kemdag) menerapkan kebijakan tegas terhadap penerapan harga eceran tertinggi (HET) beras yang mulai efektif pada Senin (25/9) mendatang. Kemdag menegaskan tidak ada toleransi bagi pelaku usaha yang melanggar kebijakan tersebut.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan kebijakan ini seharusnya sudah dijalankan per 1 September 2017. Tetapi karena masih banyak stok beras yang dibeli pedagang dengan harga tinggi, maka pemerintah memberi toleransi sampai 25 September 2017 ke pedagang untuk menghabiskan stok lamanya.

"Mulai hari Senin, pedagang sudah harus menerapkan dan menyediakan beras medium dan beras premium sesuai HET," ujar politisi dari Partai Nasdem itu, Jumat (22/9).

Ia melanjutkan, pada Senin mendatang, Kemdag akan melakukan pemeriksaan dengan didampingi Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Nantinya juga akan diinformasikan kepada dinas perdagangan di daerah untuk melakukan pengecekan di pasar.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 tahun 2017 tentang HET Beras, pedagang yang melanggar ketentuan HET bisa mendapatkan sanksi administratif berupa pencabutan izin. Hal itu bisa dilakukan pemerintah setelah memberikan surat peringatan tertulis ke pebisnis paling banyak dua kali.

Pengamat Pertanian Husein Sawit menilai kebijakan penerapan HET beras lebih banyak mudaratnya ketimbang keuntungan. Ia menilai, beleid itu akan merugikan petani dan perusahaan penggilingan padi. "Kalau HET terlalu dipaksakan maka akan seperti memakan buah simalakama. Mau memajukan petani, menghancurkan penggilingan. Ingin memajukan penggilingan, tetapi memperkecil pendapatan petani," ujar dia.

Menurut Husein, apabila terjadi kenaikan harga gabah atau harga gabah kering panen (GKP) di angka Rp 4.800 atau lebih per kilogram, maka perusahaan penggilingan akan menghentikan aktivitas bisnisnya. Pasalnya, ongkos produksi yang dibutuhkan sudah melewati HET yang ditentukan pemerintah.

"Kalau harga GKP naik di atas Rp 4.800, penggilingan padi tidak bisa menggiling karena mengikuti HET yakni Rp 9.450. Dia tidak ada untung malah rugi. Misalnya, harga bahan baku Rp 4.900 per kg. Maka hitungan kasarnya, ongkos produksinya dua kali dari itu, maka totalnya menjadi Rp 9.800 per kg," tutur dia.

Di lain sisi, ketika berlangsung panen raya, maka petani yang akan menanggung rugi. Harga gabah akan terus mengalami penurunan karena tidak ada penggilingan yang membeli padinya.

Akibatnya, petani akan protes karena tidak mendapatkan insentif. Bahkan, bukan tidak mungkin petani akan berhenti menanam padi. Bila hal itu terjadi maka akan berdampak terhadap penurunan luas areal panen. "Dampaknya bisa sampai kepada ketahanan pangan. Swasembada akan terganggu," ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×