kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ketika lansia mengubah wajah perekonomian dunia


Senin, 28 April 2014 / 07:41 WIB
Ketika lansia mengubah wajah perekonomian dunia
ILUSTRASI. Soccer Football - FIFA World Cup Qatar 2022 - Group H - Portugal v Uruguay - Lusail Stadium, Lusail, Qatar - REUTERS/Lee Smith


Reporter: Dessy Rosalina | Editor: Dessy Rosalina

Memiliki banyak anak merupakan salah satu prinsip penting dalam hidup berkeluarga di abad ke-20. Saat ini, prinsip itu perlahan makin luntur. Bagi penduduk negara maju. memiliki anak bukan lagi tujuan pernikahan. Fenomena ini yang memicu populasi kaum tua melesat.

Sekali lagi, kaum tua mengubah wajah ekonomi dunia. Jika dulu mereka memacu pertumbuhan ekonomi, kali ini kaum renta menahan laju pertumbuhan. Catatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), populasi tua atau mereka yang berusia di atas 65 tahun telah meningkat dua kali lipat dalam tempo 25 tahun terakhir. Hitungan PBB, saat ini sebanyak 600 juta kaum manula memenuhi dunia.

Jumlah itu setara dengan 8% dari total populasi dunia. Namun, di tahun 2035, jumlah manula di atas usia 65 tahun, mencapai 1,1 miliar atau 13% dari total populasi penghuni dunia. Mengutip The Economist, populasi kaum renta melesat tinggi di negara kaya. Contoh, Jepang. Di Negeri Sakura, perbandingan antara kaum tua dengan kaum produktif yakni 69 berbanding 100 orang di tahun 2035.

Angka ini lebih tinggi ketimbang tahun 2010. Kala itu, kaum manula sebanyak 43 dari total kaum produktif. Jerman pun mengalami problema sama. Di tahun 2035 mendatang, perbandingan antara kaum tua dengan kaum produktif yakni 66 berbanding 100 orang.

Amerika Serikat (AS) yang memiliki tingkat kelahiran cukup tinggi juga harus menanggung biaya hidup 44 lansia dari total 100 kaum produktif. Sejumlah negara berkembang terhindar dari persoalan menanggung beban hidup kaum lansia. Namun, populasi kaum lansia tetap tumbuh pesat.

Populasi lansia di Tiongkok diperkirakan tumbuh dua kali lipat dari 15 menjadi 36 lansia per 100 orang usia produktif. Kaum tua di Amerika Latin juga tumbuh dobel dari 14 menjadi 27 per 100 orang. Kenapa populasi tua menghambat pertumbuhan ekonomi? Sebab, kaum lansia memasuki periode tidak bekerja. Itu artinya, daya beli, pendapatan dan nilai aset turun.
Ujungnya, populasi lansia yang melesat bisa memicu kenaikan suku bunga.

Kendati begitu, ada tiga faktor yang bisa mengubah aktivitas ekonomi kaum lansia. Yakni, perubahan usia maksimal tenaga kerja, perubahan tingkat produktivitas dan perubahan pola menabung. Atas dasar itulah, para pengambil kebijakan ekonomi kini tengah sibuk mendorong agar kaum produktif saat ini lebih lama bekerja, lebih produktif dan lebih gemar menabung.

Tengok saja, sekitar 20% warga AS yang berusia lebih dari 65 tahun kini masih bekerja. Di tahun 2000 silam, hanya 13% manula yang masih mencari nafkah di usia pensiun. Amlan Roy, Ekonom Credit Suisse menghitung, populasi lansia mengurangi pertumbuhan ekonomi Jepang sebesar 0,6% per tahun, mulai dari tahun 2000-2013.

"Beban pemerintah menanggung lansia akan mengurangi pertumbuhan ekonomi hingga 1% di empat tahun mendatang," ujar Roy, mengutip The Economist. Proyeksi Roy, kaum lansia di Jerman dan AS mengurangi pertumbuhan ekonomi dua negara adidaya itu masing-masing 0,5% dan 0,7% saban tahun.

Jadi, siapkah Anda dipaksa bekerja dan menabung di usia muda oleh pemerintah?




TERBARU

[X]
×