kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Survei Brexit memicu polemik


Selasa, 15 Maret 2016 / 22:31 WIB
Survei Brexit memicu polemik


Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Yuwono triatmojo

LONDON. Hasil survei Federasi Industri Inggris atau Confederation British Industry (CBI) menginginkan Inggris tetap berada di Uni Eropa. Paul Drechsler, Presiden CBI mengatakan, apa yang dilakukan CBI merupakan review paling komprehensif tentang pandangan pebisnis di Inggris melalui proses konsultasi dan jajak pendapat.

Beberapa tahun lalu, banyak pihak mengkritik pedas CBI karena dituding terlalu pro Uni Eropa. Survei kali ini pun dicurigai sebagai kampanye CBI agar mempertahankan status quo.

"Ini bukan cerita masa lalu. Ini adalah masa depan," tutur Drechsler seperti dikutip situs www.mirror.co.uk, Selasa (15/3). Dia menegaskan, harga barang-barang produk Inggris akan naik karena terkena pajak dari negara anggota Uni Eropa kalau Inggris memutuskan keluar.

Akibatnya, daya saing produk-produk Inggris akan melemah ketimbang para kompetitornya. "Bila Inggris keluar dari Uni Eropa, maka pengusaha akan memiliki waktu yang panjang dalam ketidakpastian dan situasi yang buruk," imbuh Drechsler.

Seperti diberitakan www.mirror.co.uk, CBI melalukan survei tanggapan pengusaha atas rencana hengkangnya Inggris dari Uni Eropa yang akan diputuskan pada referendum 23 Juni mendatang. Survei tersebut melibatkan 773 narasumber yang seluruhnya merupakan anggota CBI. Jika dipersentasekan, sampel yang dipakai tercatat sebesar 0,4% bila merujuk total anggota CBI yang mencapai 190.000 perusahaan

Hasilnya, hanya 5% saja dari responden yang menyetujui rencana British Exit (Brexit). Sementara 15% lainnya mengaku masih ragu-ragu. Sebanyak 80% suara meminta Inggris tetap berada di Uni Eropa.

Kepala Ekonom Markit Chris Williamson pada awal bulan ini bilang, banyak perusahaan khawatir, terlebih dengan adanya risiko brexit, volatilitas pasar keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang lemah.

Will Straw, Direktur Eksekutif Britain Stronger mengatakan, terdapat dukungan yang cukup besar dari pelaku bisnis skala kecil, menengah dan besar untuk bertahan di Uni Eropa. Pengusaha tidak bisa begitu saja mengabaikan potensi pasar berupa 500 juta orang penduduk negara di Uni Eropa. "Para pekerja tentu menyadari risiko kehilangan pekerjaan jika perusahaannya kehilangan pasar besar di Eropa," tandas Straw.


Berita Terkait



TERBARU

[X]
×