kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tak ada titik terang, apakah Brexit batal?


Selasa, 11 Desember 2018 / 19:14 WIB
Tak ada titik terang, apakah Brexit batal?
ILUSTRASI. Ilustrasi Brexit di Inggris


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - STRASBOURG. Perdana Menteri Inggris Theresa May berkeliling mencari dukungan dari para pemimpin Eropa, Selasa (11/12). Hal ini dilakukannya untuk mengubah beberapa hal pada kesepakatan Brexit yang digagasnya sebagai upaya terakhir untuk penyelamatan. Sebab, ia mengakui keputusannya untuk membatalkan pemungutan suara membuatnya berada di jalur untuk kalah.

Mengutip pemberitaan Reuters, dalam waktu kurang dari empat bulan, Inggris akan secara resmi meninggalkan Uni Eropa tepatnya pada 29 Maret 2019. Keputusan Brexit ini mulai masuk dalam kekacauan ketika May menerima keputusan parlemen Inggris yang tidak akan menerima kesepakatannya untuk menjaga hubungan dekat setelah meninggalkan Uni Eropa.

Hal itu lantas membuat spekulasi di kalangan masyarakat, mulai dari Brexit yang berakhir kacau tanpa kesepakatan. Para pelaku usaha mengatakan hal itu akan menyebabkan krisis ekonomi lantaran dapat memutus jalur pasokan mereka.

Namun, May masih berharap untuk mempertahankan kekuasaannya dan menghidupkan kembali kesepakatannya dengan menyetujui beberapa jaminan dari Uni Eropa untuk memenangkan anggota parlemen. Akibat kegaduhan ini, mata uang poundsterling sempat jatuh di pasar.

Setelah menerima banyak tuntutan untuk melangsungkan pemilihan nasional, cemooh dan peringatan kepada dirinya, kesepakatan yang dilakukan May berujung sia-sia. May berjanji akan mencari dukungan Uni Eropa untuk perubahan agar lebih cocok dengan keinginan anggota parlemen.

Uni Eropa mengatakan siap untuk membahas upaya meredam ratifikasi di Inggris, hanya saja pihaknya tetap bersikeras bahwa perjanjian penarikan tidak dapat dinegosiasi ulang. Termasuk elemen yang paling didebatkan yaitu penghalang (backstop) untuk perbatasan Irlandia Utara.

Backstop memastikan satu-satunya perbatasan darat Inggris-Uni Eropa tetap terbuka apapun yang terjadi, Uni Eropa juga meminta Inggris untuk mematuhi aturan tersebut.

Hal ini tentu membuat dilema Brexit, di sisi lain Inggris memiliki keinginan untuk menetapkan aturannya sendiri, sementara pihaknya juga tetap ingin melakukan transaksi perdagangan dengan pasar terbesar di dunia (Eropa).

"Terkadang saya tidak mengerti dunia lagi. Kami menghabiskan begitu banyak waktu, energi dan kreativitas untuk menegosiasikan sesuatu yang tidak kami inginkan di Berlin dan Brussels. Tidak ada yang ingin Inggris pergi," kata Menteri Urusan Eropa Jerman Michael Roth.

Ia melanjutkan, pihaknya tidak dapat membayangkan untuk mengubah/menarik sesuatu yang substansial dalam sebuah perjanjian. "Kami tidak dapat memulai kembali perundingan karena sudah cukup sulit di antara EU 27 dan Inggris untuk menyetujui kesepakatan ini," sambungnya.

Presiden Komisaris Uni Eropa Jean-Claude Juncker mengatakan tampaknya Uni Eropa meninggalkan sedikit ruang gerak. "Kami memiliki perjanjian di atas meja, kami tidak akan menegosiasikan kembali," katanya melalui juru bicara.

May bertemu dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di Den Haag untuk sarapan. Ia kemudian dikabarkan akan bertemu Kanselir Jerman Angela Markel di Berlin dan kemudian Juncker serta Presiden Dewan Eropa Donald Tusk yang akan mengadakan pertemuan puncak Uni Eropa pada Kamis mendatang.

Brexit dibatalkan?

Dalam debat parlemen yang sempat riuh pada hari Senin (10/12) lalu, May melontarkan beberapa pertanyaan yang lebih dalam, mengenai apakah anggota parlemen ingin menyampaikan kehendak rakyat dari referendum 2016 atau membuka divisi dengan suara nasional lain.

"Jika anda mengambil langkah mundur, jelas bahwa DPR menghadapi pertanyaan yang jauh lebih mendasar. Apakah DPR mau Brexit?" kata May.

Kedua partai penguasa termasuk May dan partai buruh sebagai oposisi utama telah berjanji untuk menerapkan hasil referendum 2016 di mana pemilih Inggris yang didukung keluar dari Uni Eropa 52% menjadi 48%.

Tiga dari empat perdana menteri yang ada dan paduan suara anggota parlemen mengatakan bahwa pemungutan suara baru adalah satu-satunya jalan keluar dari kebuntuan ini. Di antara lawan-lawan Brexit ada antusiasme yang meningkat untuk mendapat kesempatan untuk mengatakan yang lain.

Tetapi banyak pendukung Brexit mengkatan hal itu akan menjadi sebuah pengkhianatan. Banyak pengusaha khawatir Brexit akan menjadi kacau dan merusak jalur suplai. Beberapa berharap kegagalan May akan mengakhiri rencana Brexit yang tak pernah didukung pelaku usaha.

"Kami melihat situasi ini dengan campuran antara khawatir dan harapan, harapan itu datang dari fakta bahwa sekarang kekacauan seperti itu dihentikan," kata salah seorang CEO perusahaan yang terdaftar di FTSE.

Lantaran para investor dan sekutu Iggris mencoba mencari jalan keluar bagi ekonnomi terbesar kelima di dunia ini, anggota pemberotak di partai May, mengatakan bahwa May harus keluar dari partai.

"Jika kita tidak maju dengan kesepakatannya, maka saya takut satu-satunya cara untuk mengubah kebijakan adalah mengubah perdana menteri dan saya benar-benar berpikir tugasnya adalah untuk pergi," kata pendukung legislatif dari partai konservatif Steve Baker.




TERBARU

[X]
×