kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ternyata musik digital juga membahayakan lingkungan


Jumat, 01 Maret 2019 / 20:11 WIB
Ternyata musik digital juga membahayakan lingkungan


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Layanan musik digital diklaim lebih ramah lingkungan dibandingkan pendahulunya seperti vinil, kaset, maupun CD. Benarkah demikian?

Masyarakat pun kini lebih senang mendengarkan musik melalui aplikasi maupun platform berbayar. Namun hal tersebut tak serta merta mengenyampingkan keberadaan vinil, kaset, maupun CD. Nyatanya sejak 2007 penjualan vinil meningkat 1.427%. Bahkan di Britania saja pada 2018 terjual hampir empat juta vinil.

Mulanya vinil dibuat berbahan Shelac, resin yang dihasilkan dari kumbang kerria lacca betina. Sayangnya, bahan tersebut rapuh jika terkena air maupun alkohol. Makanya kemudian para produsen vinil menggantikan bahan baku tersebut dengan PVC. Ini tonggak produksi vinil modern hingga kini.

Satu rekaman vinil modern setidaknya mengandung 135 gram PVC yang menghasilkan jejak karbon setengah kilogram karbon dioksida. Dengan kandungan demikian, dan mengambil contoh kasus di Britania, maka pada 2018 setidaknya ada 1.900 ton karbon dioksida yang dihasilkan dari vinil. Kandungan tersebut tentu belum menghitung karbon yang dihasilkan dari transportasi, dan proses pengemasannya.

Dinilai terlalu membahayakan lingkungan, industri musik pada awal 1980-an mulai berganti instrumen. Compact Disc atawa CD diproyeksikan lebih ramah lingkungan dari pada vinil untuk mendengarkan musik, lantaran terbuat dari beragam lapisan polikarbonat, dan aluminium.

Namun ekspektasi terhadap CD justru berlebihan. Nyatanya CD tak lebih kurang membahaykan terhadap lingkungan dibandingkan vinil. Lantaran terbuat dari banyak bahan kimia, CD jadi sulit terurai. Apalagi CD juga lebih rentan dibandingkan vinil. Satu goresan saja bisa bikin ia tak berfungsi, dan hanya menjadi sampah.

Belum lagi, CD lebih mudah dibajak. Sementara CD berkualitas tinggi bisa bertahan hingga 100 tahun. CD bajakan berkualitas buruk bisa langsung rusak terpapar sinar matahari atau panas berlebih. Hasilnya: lebih banyak bahan kimia jadi sampah.

Nah, harapan keseimbangan musik dengan lingkungan mulai benderang ketika masyarakat disuguhkan layanan musik digital. Baik membeli musik secara digital, atau sekadar mendengarkannya di aplikasi gratis. Teknologi digital pun dapat memberikan kualitas suara setara vinil. Jadi apakah ini masa depan musik yang ramah lingkungan?

Nyatanya juga tidak demikian, dalam artikelnya di BBC, Sharon George dan Deirdre McKAy. Dua dosen di Keele University ini menyatakan bahwa musik digital juga memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.

Menurut mereka, musik digital justru memakan energi lebih banyak dibandingkan viniil maupun CD. Data digital musik tersimpan di server yang aktif sebelum kita mulai menikmati layanan.

Nah konsumsi energi dari server-pemancar-router hingga sampai ke gawai pendengar ini yang disebut George dan McKAy nyatanya lebih boros energi. Juga nyatanya lebih mahal.

“Ketika membeli vinil maupun CD, kita bisa memaikannya terus menerus, karbon yang dihasilkan hanya berasal dari pemutarnya. Namun jika kita mendengarkan musik melalui layanan streaming misalnya dengan kualitas suara paling bagus setidaknya butuh 107 Kwh tiap tahunnya dengan biaya setidaknya 15 Euro. Sementara CD butuh 34,7 KwH dengan biaya 5 Euro pertahuannya,” tulis mereka dikutip dari BBC.




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×