kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bank Sentral Singapura ingatkan efek perang dagang bisa mengerikan


Kamis, 05 Juli 2018 / 11:14 WIB
Bank Sentral Singapura ingatkan efek perang dagang bisa mengerikan
ILUSTRASI. Benny Rachmadi - Perang Dagang Bikin Was-was


Sumber: Bloomberg | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Sebuah peringatan keras datang dari Bank Sentral Singapura atau Monetary Authority of Singapore (MAS). Bank sentral ini mengingatkan konsekuensi "mengerikan" terhadap ekonomi global bila friksi perdagangan saat ini makin meningkat menjadi perang dagang besar-besaran.

"Dunia telah jelas bergerak dari ketegangan perdagangan ke konflik perdagangan," kata Ravi Menon, Direktur Pelaksana MAS seperti dilansir Bloomberg. Jika ini meningkat menjadi perang dagang, tiga mesin pertumbuhan ekonomi global yakni manufaktur, perdagangan, dan investasi, akan mandek."

Apalagi setelah AS mengancam akan memberlakukan tarif impor lebih tinggi pada barang-barang dari China, Kanada, Uni Eropa, dan negara lainnya, kekhawatiran bahwa konflik perdagangan menyeba semakin meningkat. Ini akan merongrong pertumbuhan ekonomi global dan melukai negara-negara yang bergantung pada ekspor seperti Singapura.

Perang dagang ini lebih berisiko dibandingkan harga minyak yang makin memanas, kenaikan suku bunga global dan kurs dollar yang lebih kuat.

Menon mengatakan, dampak langsung dari tarif impor yang lebih tinggi akan terbatas. Namun jika konflik menyebar, hasilnya akan parah bagi ekonomi global.

"Jika kita memiliki konflik perdagangan yang serius atau perang dagang dengan tarif yang diterapkan di berbagai macam produk, saya pikir konsekuensinya akan sangat mengerikan," katanya.

Bank Sentral Singapura memperkirakan pertumbuhan ekonomi Singapura sebesar 2,5%-3,5% pada tahun ini. MAS yang menggunakan mata uang sebagai instrumen utama moneternya dibandingkan suku bunga, bergeser ke pengetatan kebijakan moneter sejak April 2018 karena inflasi meningkat.

"Jika konflik perdagangan menjadi jauh lebih serius, maka itu bukan lagi risiko di belakang. Itu menjadi kenyataan saat ini, dan dalam hal ini, kebijakan moneter harus memperhitungkannya," kata Menon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×