Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - Pasar saham mengalami gejolak signifikan setelah pengumuman tarif besar-besaran oleh Presiden Donald Trump.
Indeks S&P 500 sempat mendekati wilayah beariss, ditandai dengan penurunan 20% dari titik tertinggi sebelumnya—akibat kekhawatiran inflasi dan perang dagang yang dapat memperlambat ekonomi global.
Namun, setelah Presiden mengumumkan jeda 90 hari pada beberapa tarif dan menaikkan bea masuk produk China menjadi 125%, S&P 500 melonjak lebih dari 9%.
Baca Juga: Terkenal Hidup Sederhana, Charlie Munger Tinggal di Rumah yang Sama Selama 70 Tahun
Mengutip CNBC, Kamis (10/4/2025), dalam menghadapi fluktuasi semacam ini, Charlie Munger, mantan Wakil Ketua Berkshire Hathaway sekaligus tangan kanan Warren Buffett, menekankan pentingnya ketahanan investor dalam menghadapi volatilitas pasar.
Menurutnya, pemegang saham jangka panjang harus siap menghadapi penurunan nilai saham hingga 50%.
"Jika Anda tidak bisa bertahan menghadapi penurunan seperti ini, Anda tidak cocok menjadi pemegang saham biasa. Anda pantas mendapatkan hasil yang biasa-biasa saja dibandingkan dengan mereka yang lebih filosofis terhadap fluktuasi pasar," ujar Munger dalam wawancara dengan BBC pada 2009.
Pengalaman Hadapi Gejolak Pasar
Pernyataan Munger bukan tanpa dasar. Pada 2009, saham Berkshire Hathaway turun lebih dari 50%. Ketika ditanya apakah ia khawatir dengan kondisi perusahaan, Munger dengan tegas menjawab, "Tidak ada."
Ia menegaskan bahwa ini bukan kali pertama saham Berkshire mengalami penurunan besar.
Baca Juga: Charlie Munger Sebut Kejatuhan Pasar Saham Peluang Langka Membangun Kekayaan
Munger dan Buffett tetap berpegang pada prinsip investasi mereka: "Takutlah saat orang lain serakah, dan serakahlah saat orang lain takut."
Mereka terus membeli saham yang dianggap undervalued dan meyakini bahwa ekonomi AS akan kembali pulih. Strategi ini terbukti efektif, dengan portofolio Berkshire Hathaway mencapai titik tertinggi baru setelah setiap periode penurunan besar.