kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Gempa NTB dan urgensi mitigasi


Rabu, 01 Agustus 2018 / 16:00 WIB
Gempa NTB dan urgensi mitigasi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Gempa kembali terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Gempa berkekuatan 6,4 skala richter (SR) itu menyebabkan kerusakan berat pada sejumlah bangunan dan perumahan. Ini merupakan contoh gagalnya mereduksi risiko bencana pada bangunan publik.

Gempa bumi yang terjadi merupakan peringatan agar jangan lengah dengan mitigasi. Jangan lupa menerapkan teknologi bangunan yang akrab gempa. Gempa NTB juga menjadi pelajaran berharga terkait mitigasi bencana untuk kawasan destinasi wisata. Seperti kejadian ratusan wisatawan yang terjebak di Gunung Rinjani, Lombok Timur, NTB.

Perlu antisipasi yang baik terkait dengan ancaman bencana alam, cuaca ekstrem dan kondisi darurat pada destinasi wisata. Mengingat banyak destinasi secara geografis terletak pada kawasan yang rentan bencana alam.

Pemasaran destinasi pariwisata sebaiknya disertai dengan antisipasi sistemik untuk penanggulangan bencana alam. Pemda perlu memberi informasi dan jaminan terkait dengan mitigasi destinasi pariwisata. Bencana alam bisa menghancurkan industri wisata.

Dibutuhkan manajemen risiko bencana canggih untuk sektor pariwisata. Misal ada peta tematik kebencanaan sebagai informasi kebencanaan spasial. Peta tematik kebencanaan ini juga merupakan informasi yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pariwisata. Dari peta tematik kebencanaan tersebut bisa dimanfaatkan badan kebencanaan di tingkat lokal maupun nasional serta para pelaku pariwisata di daerah yang bersangkutan untuk menyusun rencana aksi dalam rangka mitigasi bencana.

Melihat data kejadian bencana, maka indeks risiko bencana perlu diturunkan dan kinerja pemerintah daerah terkait bencana harus ditingkatkan. Usaha mitigasi bencana juga bukan sekadar menghabiskan anggaran.

Perlu diperhatikan esensi UU No.24 Tahun 2017 tentang usaha mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Butuh inovasi serta sinkronisasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang telah menyusun rencana strategis dengan sasaran menurunnya indeks risiko bencana secara signifikan.

Paradigma bangunan sipil

Arah kebijakan pembangunan nasional tahun 2015-2019 bidang kebencanaan adalah mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dalam menghadapi bencana. Bencana yang datangnya tak terduga memerlukan analisis risiko yang jitu yang diperkaya dengan informasi tentang kerentanan dan kapasitas dari masyarakat, serta indikasi potensi kerugian. Maka penting memutakhirkan pengkajian risiko dan menyelaraskan dengan metodologi pengkajian risiko yang lebih baik.

Target penurunan indeks risiko bencana sangat dipengaruhi oleh komponen penyusunnya yaitu komponen bahaya, kerentanan dan kapasitas. Dari ketiga komponen penyusun indeks risiko, komponen bahaya merupakan komponen yang sangat kecil kemungkinan untuk diturunkan, maka indeks risiko bencana dapat diturunkan dengan cara peningkatan kapasitas atau komponen kapasitas. Peningkatan kapasitas dapat dilakukan pada setiap tataran pemerintahan dan masyarakat.

Salah satu langkah mereduksi risiko gempa bumi adalah terkait dengan bangunan yang akrab gempa. Gempa yang terjadi berulang kali mestinya menyadarkan perlunya penerapan struktur bangunan yang akrab dengan gempa karena mampu mereduksi efeknya. Fakta menyebutkan, sebagian besar korban gempa akibat tertimpa material bangunan.

Dengan fakta tersebut mau tidak mau kita harus memikirkan solusi teknik bangunan serta mengevalusi dan memasyarakatkan aspek struktur bangunan di daerah rawan gempa. Selain itu dibutuhkan teknologi tepat guna yang murah dengan bahan baku lokal yang melimpah guna meminimalkan dampak gempa. Dalam konteks tersebut sebenarnya aplikasi teknologi sudah menyajikan bermacam pilihan. Sayangnya, banyak pihak kurang merespon hal tersebut.

Perkembangan teknik sipil khususnya konstruksi bangunan tahan gempa pada dekade terakhir ini mengalami analisa yang lebih rinci. Yaitu adanya perubahan paradigma dari menilai kekuatan dan daktilitas menjadi kinerja.

Para ahli struktur menyadari bahwa keamanan dan keselamatan bangunan tidak hanya bergantung pada tingkat kekuatan tetapi juga pada tingkat deformasi dan energi terukur pada kinerja struktur. Kinerja struktur yang yang diukur pada deformasi struktur dengan beban kuat sudah mulai diperhitungkan pada awal perencanaan sebagai kriteria yang dikenal desain berdasarkan kinerja (DBK).

DBK yang sudah dikenal adalah menggunakan desain awal dengan pendekatan gaya. Yang mana deformasi plastis yang dirancang adalah deformasi yang didasarkan atas plastisitas pada balok dengan beban gempa kuat. Analogi sistem dengan derajat tunggal diimplementasikan untuk mendapatkan gaya rancang yang relevan dengan deformasi plastis tersebut.

Secara umum struktur bangunan dapat dikategorikan menjadi engineered buildings dan non engineered buildings. Kedua kategori tersebut hingga saat ini masih ada yang belum memasukkan aplikasi teknologi tahan gempa. Engineered building adalah bangunan yang memerlukan tenaga ahli saat proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Yang non engineered building bangunan yang direncanakan dan dilaksanakan tanpa bantuan tenaga ahli. Bangunan itu umumnya dibangun berdasarkan kebiasaan tradisional setempat. Non-engineered building dibagi dua katagori yaitu bangunan tradisional dan bangunan rumah tinggal sederhana atau bangunan komersil yang dibangun tanpa bantuan ahli bangunan.

Agar memenuhi kriteria keseimbangan antara biaya dan risiko yang dapat diterima, engineered building maupun non-enginered building harus memenuhi beberapa kriteria perancangan. Pertama, struktur bangunan harus tetap utuh dan tidak boleh mengalami kerusakan yang berarti saat terjadi gempa sedang. Pada kondisi ini struktur diharapkan akan berespon didalam kondisi elastis.

Kedua, komponen non-struktural dari struktur bangunan diperkenankan mengalami kerusakan. Tetapi komponen struktural harus tetap utuh pada saat terjadi gempa sedang. Ketiga, pada saat terjadi gempa kuat, komponen struktural dan non-struktural dari sistem struktur diperbolehkan mengalami kerusakan, tetapi struktur bangunan secara keseluruhan tidak boleh runtuh.•

Totok Siswantara
Pengkaji Transformasi Teknologi dan Infrastruktur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×