kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia gandeng Jepang untuk pecahkan tiga masalah industri


Selasa, 17 April 2018 / 11:27 WIB
Indonesia gandeng Jepang untuk pecahkan tiga masalah industri
ILUSTRASI. Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro


Reporter: Arsy Ani Sucianingsih | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Badan perencanaan Nasional (Bapenas), bersama dengan Pemerintah Jepang dan Japan International Cooperation Agency (JICA), menjalin kerja sama di bidang industri.

Melalui penyelenggaraan dialog “The 4th Industrial Dialogue Grand Session” bertemakan The Study on the Promotion of Globally Competitive industry. Dalam diskusi tersebut juga membahas mengenai rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari studi yang telah dimulai sejak pertengahan tahun 2016.

“Melalui diskusi hari ini diharapkan dapat menggalang kesepahaman dan komitmen di antara masing-masing instansi Pemerintah Indonesia, khususnya dalam menyikapi perkembangan sektor industri nasional. Saya berharap hasil studi ini sekaligus memberikan sumbangsih pada penajaman kebijakan pembangunan industri nasional," ujar Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro di hotel Sangri-la, Selasa (17/4).

Dia menjelaskan, pengembangan industri nasional diarahkan untuk memecahkan tiga masalah utama. Yakni, Pertama, stagnasi produktivitas tenaga kerja industri di mana data International Monetary Fund (IMF) menunjukkan produktivitas tenaga kerja Indonesia stagnan selama lebih dari satu dekade terakhir, sementara China dan India mengalami kenaikan yang pesat.

Kedua, daya saing industri nasional. Kenaikan incremental Capital-Output Ratio (ICOR) Indonesia menggambarkan penggunaan kapital yang melemah dikarenakan belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan dan akses keuangan yang terbatas bagi masyarakat.

Ketiga, ekspor produk manufaktur Indonesia didominasi produk teknologi rendah. Rendahnya proporsi ekspor dengan kandungan teknologi tinggi mengindikasikan Indonesia belum berpartisipasi optimal dalam rantai nilai global.

Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari negara Thailand dan Malaysia yang memiliki karakteristik produk ekspor yang lebih heterogen. Hal ini lebih baik dalam menangkap perubahan konsumsi global, mendorong nilai tambah yang tinggi, serta lebih kuat dalam menghadapi fluktuasi harga komoditas.

"Saat ini karakteristik produk ekspor Indonesia bersifat homogen, dan kita tertinggal dalam mengembangkan produk baru di bidang manufaktur. Produk ekspor Indonesia terkonsentrasi pada produk hasil komoditi dan barang pertambangan, seperti batubara, CPO, dan karet, dengan sedikit kontribusi dari ekspor barang permesinan,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×