Reporter: Dessy Rosalina | Editor: Dessy Rosalina
LONDON. Wahai para pengemplang pajak, berhati-hatilah. Pasalnya, pemerintah Inggris bakal menyusun database yang berisikan perincian kepemilikan saham suatu perusahaan. Yang menarik, database kepemilikan saham ini bisa diakses secara publik.
Tujuannya agar masyarakat bisa menjadi pengawas sekaligus menempatkan lebih banyak tekanan terhadap perusahaan atau individu yang ingin menyembunyikan kekayaan dan keuntungan. Gebrakan ini datang dari David Cameron, Perdana Menteri (Inggris). Belakangan, Cameron gencar membidik pihak-pihak yang kerap memanipulasi besaran pajak.
Cameron memutuskan untuk membuka akses publik terhadap database setelah pergulatan panjang dengan perwakilan pebisnis. Keputusan ini merupakan rencana besar Cameron untuk mengungkap praktik money laundering dan penggelapan pajak.
Sumber Reuters berbisik, kebijakan Inggris ini bakal diumumkan Cameron pada Kamis malam waktu London, (31/10). "Sudah terlalu lama kalangan elit telah menyembunyikan harta mereka dibalik laporan perusahaan yang rumit dan membingungkan," mengutip salah satu poin pernyataan Cameron.
Andai kebijakan ini terealisasi, ini tentu bakal menjadi bumerang bagi perusahaan global. "Dampaknya akan signifikan karena Inggris menjadi salah satu tempat terbaik untuk menyembunyikan rahasia keuangan perusahaan," ujar Gavin Hayman, Jurubicara Global Witness, lembaga anti korupsi.
Di Juni 2013, Cameron mengajukan proposal kepada parlemen Inggris terkait negara-negara yang masuk koloni Inggris. Cameron menginginkan, negara-negara yang kerap dijadikan lokasi paper company tergabung dalam portokol tranparansi internasional.
Saat ini, pemerintah dan sejumlah pihak terkait tengah membahas kebijakan tranparansi pajak di sejumlah negara koloni Inggris. Sumber Reuters bilang, keputusan bakal rampung di awal tahun 2014.
Hayman menilai, langkah Inggris akan menjadi cambukan bagi negara lain untuk lebih transparan soal kepemilikan saham perusahaan. Prediksi Hayman, langkah Inggris bakal menjalar ke sejumlah negara lain, semisal Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS).
Di pertemuan kelompok negara maju G8 pada bulan Juni lalu, sejumlah petinggi negara belum mencapai kesepakatan soal transparansi kepemilikan saham perusahaan. Kala itu, pemimpin G8 hanya berjanji untuk menyediakan lebih banyak data jika negara anggota G8 lain memerlukan.