Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm atau Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) baru-baru ini merilis laporan terbaru tentang penjualan senjata global. Data menunjukkan bahwa transaksi telah meningkat selama lima tahun terakhir.
SIPRI pada hari Senin (11/3) melaporkan bahwa perang antara Rusia dan Ukraina berkontribusi besar dalam naiknya angka pembelian senjata di kalangan negara-negara Eropa.
Di Eropa, pembelian senjata pada periode 2019-2023 menyumbang pangsa pasar 21%, naik dari 11% pada periode 2014-2018.
Ukraina sendiri menjadi importir regional terbesar dan terbesar keempat di dunia. Kekhawatiran atas pergerakan Rusia secara efektif mendorong nafsu belanja senjata negara Eropa.
Baca Juga: Impor Senjata Negara-negara Eropa Berlipat Ganda dalam Lima Tahun Terakhir
Tidak hanya di Eropa, ekspor senjata ke Asia bahkan menunjukkan angka terbesar secara global, yaitu 37%. Jepang, Australia dan India adalah negara yang paling banyak membeli senjata pada periode 2019-2023.
Meskipun jadi yang tertinggi pada periode lima tahun terakhir, nyatanya pembelian itu turun dari pangsa pasar 41% yang tercatat pada periode 2014-2018.
Pieter Wezeman, peneliti senior di SIPRI, mengatakan bahwa tingginya penjualan senjata lima tahun terakhir sangat dipengaruhi oleh kekhawatiran atas ambisi China.
Salah satu negara yang semakin waspada adalah Jepang, yang pada periode itu meningkatkan impornya dua setengah kali lipat dengan memesan senjata seperti 400 rudal jarak jauh yang mampu mencapai Korea Utara dan China.
Baca Juga: Korea Selatan Pesan 20 Unit Jet Tempur F-35A Baru Dari AS
Di kawasan Timur Tengah, Wezeman menyebut bahwa Iran adalah negara yang paling menjadi alasan bagi negara-negara di kawasan itu untuk membeli senjata.
Qatar, Mesir, dan Arab Saudi memimpin pangsa pasar pembelian senjata Timur Tengah dengan menyumbang 30% impor senjata global.
"Ini bukan hanya ketakutan terhadap Iran. Ini sebenarnya telah menjadi peperangan. Dalam 10 tahun terakhir, Arab Saudi sebenarnya telah menggunakan senjata tersebut dalam operasi yang mereka pimpin sendiri, termasuk di Yaman," kata Wezeman, dikutip Al Jazeera.
SIPRO menemukan bahwa Qatar meningkatkan impor senjatanya sebanyak empat kali lipat setelah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memberlakukan blokade terhadapnya pada tahun 2017. Qatar diketahui telah memesan pesawat tempur dari AS, Prancis, dan Inggris.