kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kisah Toein Bernadhie Radix membangun usaha pembuatan gitar listrik


Minggu, 02 Desember 2018 / 07:00 WIB
Kisah Toein Bernadhie Radix membangun usaha pembuatan gitar listrik


Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Keinginan Toein Bernadhie Radix Akassa untuk memiliki gitar listrik berkualitas bagus pada 1995 silam pupus. Maklum, harganya terbilang mahal saat itu. Sementara uang yang ia miliki tidak cukup buat membelinya.

Seiring waktu berjalan, pria kelahiran 9 Juni 1964 ini berpikir, kenapa dia tidak bikin gitar listrik sendiri. Dia pun mencoba membuat alat musik petik itu secara autodidak pada 2002, dengan membaca berbagai referensi. “Akhirnya berhasil juga. Dari situlah saya terinspirasi untuk bisa menjual gitar produksi saya,” katanya.

Kebetulan, ketika itu Toein punya usaha pembuatan jam kayu. Ini juga jadi modal tambahan untuk membikin gitar listrik. Jadi, tinggal ubah-ubah sedikit cara produksinya lantaran material untuk gitar listrik  sama, berasal dari kayu.

Setelah berhasil membuat gitar listrik sendiri, dia mulai melakukan riset kecil-kecilan tentang peluang dan potensi pasar dari gitar listrik lokal. Hasilnya, ia menemukan, belum ada gitar listrik made in dalam negeri yang berkualitas bagus dan bisa menyaingi produk impor. “Saya semakin bersemangat memulai usaha ini,” imbuhnya.

Sejatinya, waktu pertama kali membikin gitar listrik sendiri, Toein menghabiskan uang hingga Rp 20 juta. Padahal, harga gitar elektrik yang ia inginkan kala itu cuma Rp 8 juta.

Tapi, keputusannya merintis usaha pembuatan gitar listrik enggak sia-sia. Kini, berkibar dengan nama Radix Guitars, dia bisa mengantongi omzet hingga Rp 350 juta per bulan.

Tidak hanya dalam negeri, gitar buatannya menembus pasar ekspor. Mulai Singapura, Malaysia, Finlandia, Inggris, Denmark, Norwegia, hingga Belanda.

Dengan jumlah karyawan di bagian produksi sebanyak 20 orang, Toein menghasilkan sekitar 100 sampai 150 gitar listrik sebulan, kadang bisa mencapai 200 gitar, dari rumah produksi miliknya di daerah Tangerang, Banten. Harganya berkisar Rp 4 jutaan per gitar.

Bisnisnya mulai bergulir awal awal 2003. Awalnya, dia tidak mengusung nama Radix Guitars tapi Malique. Ia langsung menggandeng Ridho, gitaris band Slank. “Kami berdua mengembangkan usaha ini,” ujar lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Pertemuan dengan Ridho Slank bermula dari hobi Toein yang suka nonton konser musik. Tak sekadar nonton, ia juga senang berbincang dengan kru, komunitas, hingga musisi.

Saat Slank manggung, dia datang ke konser itu sembari membawa gitar listrik buatannya. Tujuan Toein: mendekati Ridho dan memintanya untuk menjajal gitar tersebut. Ternyata, Ridho suka bahkan membawanya untuk ia pakai manggung bersama Slank selama tur ke banyak kota di Indonesia.

Meski Ridho menggunakannya berkali-kali, gitar listrik produksi Toein tidak rusak. “Saya berani bertaruh, mana ada gitar listrik buatan lokal yang bisa tahan dan kuat dipakai ke mana-mana dan dalam tempo yang lama. Dari situ Ridho tertarik untuk bekerjasama dengan saya,” tuturnya.

Kolaborasi sama gitaris

Walau ada nama besar Ridho Slank, ternyata tak mudah memasarkan gitar listrik Malique lantaran harus bersaing dengan merek-merek impor. Tambah lagi, saat itu belum ada yang percaya dengan kualitas gitar setrum buatan lokal.

Alhasil, di awal-awal bisnis, Toein belum mendapatkan untung. “Karena saya punya usaha lain, jadi tidak masalah. Keluar kantong kanan, masuk kantong kiri saja, begitu prinsipnya,” jelas dia.

Kurang lebih butuh waktu tiga tahun buat Toein untuk meraih sukses. Tiga tahun awal merupakan waktu bagi dirinya dan Ridho Slank untuk mengedukasi pasar. Keduanya menjalankan strategi branding, bahwa kualitas Malique enggak kalah dengan gitar impor.

Selain itu, Toein membangun kolaborasi dengan para gitaris band papan atas Indonesia. Sebut saja, Edwin Cokelat, Sony J-Rocks, dan Eet Sjahranie Edane. Lalu, Bluey Incognito, Buluk Superglad, Farri Ikhsan The Sigit, Iwan Saint Loco, serta Rama Nidji. “Kalau zaman sekarang endorsement, tapi saya bilangnya kolaborasi,” ujarnya.

Dengan kolaborasi itu, dia mendukung para gitaris saat manggung dengan menggunakan gitar listrik Malique. “Nanti, kan, saat si gitaris itu difoto sedang pakai gitar, kelihatan merek gitar kami,” katanya.

Meski begitu, Toein menuturkan, semua proses branding tersebut tidak instan, perlu waktu. Tetapi, karena yakin usahanya punya peluang yang bagus, ia pun terus menjalankan bisnis itu.

Hingga di 2006, produksi gitarnya mencapai 200 unit. Omzet pun menembus angka ratusan juta rupiah.

Namun pada 2008, Toein memutuskan untuk tidak melanjutkan kongsi dengan Ridho Slank. Perpisahan ini, menurutnya, merupakan keputusan bersama lantaran sudah enggak ada kesamaan visi lagi.

Masalahnya, dia tak bisa meneruskan bisnis dengan mengibarkan nama Malique. Jelas, ini menjadi problem karena pasar sudah mengenal merek tersebut. Sehingga, ia harus menggunakan brand baru.

“Tiba-tiba ada rekomendasi dari seorang teman yang bilang, pakai nama Radix saja. Nama ini, kan, diambil dari nama elo. Saya pun setuju dan mulai pakai nama Radix sejak itu,” bebernya.

Waktu memulai bisnis dengan nama Radix, Toein tetap optimistis usahanya bakal berjalan baik-baik saja seperti dulu. Soalnya, dia punya jaringan yang sudah diritisnya sejak 2003.

Rupanya, roda bisnis berjalan tidak seperti yang ia harapkan. Pasar masih belum percaya dengan merek Radix, meski pembuatnya sama. Apalagi, Toein tak mengubah kualitas gitar listrik buatannya, dia tidak pula mengerek harga jualnya.

Masuk pasar ekspor

Walhasil, dia memakai strategi pemasaran yang sama, kolaborasi dengan gitaris-gitaris band ternama di tanah air. Tapi, ia tidak sembarangan berkolaborasi dan tak mau memberi gitar listrik demi promosi cuma-cuma.

“Saya ingin merek Radix terkenal karena kualitasnya yang memang bagus, bukan karena promosi gratisan,” tegasnya yang sempat dikatakan sombong oleh banyak orang dengan keputusannya itu.

Namun, putusan tersebut ternyata berhasil untuk keberlangsungan bisnisnya ke depan. “Memang, sih, strategi ini membuat pasar saya jadi enggak luas. Tapi, karena orang tahu akan kualitasnya, jadi pasti umur usaha ini akan panjang dan lama,” tambah Toein.

Kolaborasi dengan gitaris pilihan berdampak luar biasa ke merek Radix. Sebab, pasar Radix ada di para pemain gitar tersebut. Dan, masyarakat kalau mau membeli gitar listrik juga melihat dulu, gitaris idola mereka pakai merek apa.

Dengan merek Radix pula, ia mencoba menerobos pasar ekspor. Caranya, dia mengikuti pameran-pameran di luar negeri seperti di Amerika Serikat (AS).

Usahanya berhasil dan mulai mendapat pesanan dari luar negeri. Order pun terus mengalir dan kebanyakan order datang dari Eropa.

Pasar ekspor pun mencaplok 50% dari total penjualannya. “Jadi, fifty-fifty dengan pasar lokal,” ujarnya.

Tapi, masa emas ekspor mulai meredup. Pada 2013, penjualannya mulai turun dan berlangsung sampai sekarang. Penyebabnya, ia mengungkapkan, AS sebagai kiblat gitar listrik mengalami krisis. Banyak pabrik gitar di negeri Paman Sam yang gulung tikar, tutup.

Sejak 2016, dia pun memutuskan untuk tidak lagi ikut pameran ke luar negeri. Biayanya sangat besar, tapi gitar listrik yang  laku terjual tidak seberapa. “Jadi, lebih baik branding di lokal dulu saja, tapi dengan strategi yang bisa diakui secara internasional. Ini lebih pas buat merek Radix,” sebutnya.

Saat ini, pasar lokal mendominasi, mencapai 60% dari total penjualan Radix. Sedang pasar ekspor mengambil 40%.

Untuk mendongkrak penjualan, tahun lalu Toein membuat merek baru Havoc, gitar yang condong ke arah aliran musik metal. Dia berkolaborasi dengan gitaris muda dari band asal Solo, Down for Life.

Lantaran harga jualnya lebih mahal dari gitar Radix, sekitar Rp 7 juta–Rp 8 juta per unit, permintaannya belum terlalu banyak. “Saya ingin semuanya bagus, jadi saya masuk ke pasar pelan-pelan,” ujar Toein.

Selain itu, dia mulai menerima pesanan gitar listrik sesuai keinginan kosumen (custom). Tapi, ia menegaskan, lini bisnis ini bukan untuk mengikuti selera customer satu per satu. “Saya lebih membuka komunikasi, mereka merasa dekat dengan kami, sehingga ada keterikatan agak personal,” jelasnya.

Lalu dalam waktu dekat, Toein akan membuka toko online. Selama ini, ia baru membuka lapak di marketplace. Meski sudah lama memiliki situs resmi, itu bukan sebagai tempat jualan. Toh, ia tetap melibatkan distributor dalam penjualan melalui toko daring itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×