kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Optimisme menatap 2018


Senin, 18 September 2017 / 15:39 WIB
Optimisme menatap 2018


| Editor: Mesti Sinaga

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2018, pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%. Angka tersebut lebih tinggi daripada target yang tertuang dalam APBN-Perubahan 2017, yaitu 5,2%.

Saat mengumumkan RABPN 2018 sehari menjelang perayaan Hari Kemerdekaan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan target pertumbuhan ekonomi tersebut akan dicapai melalui dukungan konsumsi masyarakat yang terjaga, peningkatan investasi, dan perbaikan kinerja ekspor maupun impor.

Optimisme serupa juga disuarakan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia menyebut target pertumbuhan ekonomi 2018 merupakan target yang cukup optimistis, akan tetapi tidak terlalu ambisius.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Negara manapun di dunia ini akan selalu berupaya agar ekonominya tumbuh optimal, hingga memberikan manfaat bagi masyarakat.

Sejak mulai memerintah pada Oktober 2014, Presiden Jokowi membawa Indonesia mencetak pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% sampai akhir 2016. Di tahun ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi tumbuh 5,01% hingga semester I.

Presiden Jokowi berulangkali menyatakan komitmen pemerintahannya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi agar berkualitas dan berkeadilan. Kinerja ekonomi Indonesia yang berada di urutan ketiga di kelompok G-20 jangan hanya dinikmati oleh segelintir orang, tapi dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Namun, harus diakui, kenyataan tidak seindah tekad pemerintah. Indikatornya bisa dilihat dari tingkat kemiskinan, ketimpangan, maupun pengangguran. Besaran ketiga indikator itu masih belum sesuai keinginan Presiden.

Ditambah lagi, hasil penelitian dari berbagai lembaga memperlihatkan pemerataan masih jauh dari harapan. Kekayaan masih berada di tangan segelintir orang. Oxfam dan Infid bahkan mencatat harta empat orang terkaya di Indonesia setara dengan 100 juta orang miskin di Tanah Air. Sungguh ironis.

Terlepas dari fakta-fakta yang ada, seyogianya optimisme Presiden tentu harus kita sambut baik. Meskipun demikian, tantangan-tantangan yang ada tidaklah ringan. Sejumlah faktor perlu dicermati para pemangku kepentingan.

Proyeksi konsumsi
Dari sisi global, pertumbuhan ekonomi global diyakini akan kembali ke titik tertinggi sejak 2010. Menurut Fitch Ratings, misalnya, ekonomi tahun depan diperkirakan tumbuh 3,1%. Perkiraan itu jauh lebih baik dibanding angka di tahun ini yang hanya 2,7%.

Perbaikan ekonomi global tak lepas dari perbaikan ekonomi di sejumlah negara maju maupun berkembang. Pada sisi lain, Bank Sentra Amerika Serikat (AS) juga akan melakukan normalisasi pada tingkat suku bunga.

Caranya dengan menaikkan tingkat suku bunga sebanyak tiga sampai empat kali lagi, terhitung sejak pertengahan tahun ini hingga 2019.

Faktor global memang berpengaruh besar terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Dampaknya bisa terlihat dari peningkatan permintaan komoditas ekspor andalan Indonesia, seperti minyak bumi maupun batubara yang kerap berkorelasi positif dengan kenaikan harga.

Hal ini membuat daya beli masyarakat yang bergantung kepada komoditas-komoditas itu akan meningkat pula.

Dari sisi domestik, isu daya beli masyarakat yang mengemuka belakangan tentu harus dicermati. Dalam penghitungan pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga masih jadi tumpuan. Kontribusinya mencapai lebih dari 55%.

Sampai semester I-2017, konsumsi hanya bertumbuh 4,9%, atau lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pemerintah meyakini tahun depan konsumsi rumah tangga akan tumbuh di atas 5%.

Untuk mendukung keyakinan itu, pemerintah perlu mendukung peningkatan daya beli di kalangan 40% masyarakat terbawah di struktur ekonomi Indonesia.

Setelah terpukul lantaran pencabutan subsidi listrik, kelas ini jangan dibebani lagi dengan berbagai kenaikan harga komoditas. Utamanya komponen yang diatur pemerintah, seperti bahan bakar minyak maupun elpiji tiga kilogram.

Iktikad pemerintah menambah alokasi belanja subsidi dalam RAPBN 2018 semoga bisa memitigasi potensi kenaikan harga komoditas seiring perbaikan harga di level global.

Insentif investasi

Selain konsumsi rumah tangga, yang juga diharapkan mendorong pertumbuhan adalah investasi dan ekspor. Tahun depan, kedua komponen ini diyakini akan tumbuh masing-masing di atas 6% dan 5%.

Khusus untuk investasi, pemerintah perlu mengupayakan agar investasi yang masuk bersifat padat karya, bukan padat modal seperti laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Caranya dengan memberikan insentif yang dibutuhkan. Sebagai contoh dari sisi perpajakan. Keberhasilan program amnesti pajak telah memperluas basis pajak hingga pemberian insentif diharapkan tak akan membawa dampak negatif.

Jika itu terjadi, lapangan kerja pasti bertambah. Salah satu efek dari hal ini, lagi-lagi, adalah peningkatan pendapatan masyarakat yang berujung ke perbaikan konsumsi. Penting bagi pemerintah pusat maupun daerah merilis aturan yang ramah bagi kegiatan investasi.

Jangan sampai regulasi yang dilansir hadir tanpa sosialisasi hingga menimbulkan kecemasan investor. Belum lagi pungutan liar yang masih saja jadi keluhan dan penghambat. Satgas Sapu Bersih Pungli harus bekerja keras untuk ini.

Untuk ekspor, perbaikan ekonomi global diharapkan akan membuat ekspor kita tumbuh di atas 5%. Minyak bumi, batu bara, maupun minyak kelapa sawit masih menjadi komoditas ekspor andalan. Imbas perbaikan ekonomi global diharapkan juga mendongkrak ekspor tekstil maupun produk tekstil Indonesia.

Pada akhirnya, optimisme pemerintahan Presiden Jokowi beserta Wakil Presiden Jusuf Kalla baru akan kita ketahui tahun depan. Setidaknya, proyeksi yang dibuat saat ini bisa menjadi gambaran bagi semua pihak menatap 2018. Tahun yang disebut banyak pihak sebagai tahun politik.

Penyebabnya adalah pemilihan kepala daerah serentak, maupun persiapan menjelang pemilu legislatif maupun pemilihan presiden. Unsur politis tentu tidak dapat dilepaskan dari anggaran negara. Terpenting dicatat, masyarakat jangan sampai dirugikan. Semoga!

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 11 September 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Optimisme Menatap 2018"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×