kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penguatan ekonomi Amerika, semu?


Senin, 17 September 2018 / 17:10 WIB
Penguatan ekonomi Amerika, semu?


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Sekilas ekonomi Amerika Serikat (AS) terlihat menguat. Pasar saham AS mencapai rekor tertinggi. Ekonomi tumbuh lebih dari 4%. Kombinasi kebijakan pemotongan pajak yang disahkan kongres tahun lalu terlihat efektif. Perkembangan data pengangguran yang membaik menyebabkan ekonomi AS terlihat semakin baik. Diperkuat kenaikan suku bunga bank sentral AS, arus modal mengalir masuk. Tapi apa benar ekonomi AS kuat? Apakah kondisi ini akan berkelanjutan? Akankah menjadi pengungkit bagi pertumbuhan perekonomian global? Fakta dan data menunjukkan kondisi yang sebaliknya.

Benar saat ini sentimen positif melanda perekonomian AS. Respons pasar dengan sentimen positif terlihat dari hasil survei Zurich Insurance Group, EY dan Atlantic Council. Survei ini menunjukkan 71% dari 497 direktur keuangan global menilai kondisi ekonomi AS menguat hingga 3 tahun mendatang. Sekitar 61% memiliki kepercayaan tinggi berinvestasi di AS.

Sentimen positif ini terjadi ditengah meningkatnya ketidakpastian global. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, meringkas dinamika global ini dalam tiga fenomena, yaitu ekonomi Amerika yang sedang tumbuh sendirian, kenaikan suku bunga bank sentral AS yang terturut-turut dan meningkatnya ketegangan perdagangan. Kita saksikan hal ini menyebabkan arus dana mengalir menuju AS. Sebagai konsekuensinya, pelemahan mata uang di negara lain terjadi secara hampir merata, seperti Indonesia.

Di tengah hiruk-pikuk dinamika global ini, kita perlu menelaah lebih dalam struktur perekonomian AS. Banyak fakta dan data perekonomian AS yang jarang dibahas ekonom dunia, akan membantu kita melihat secara berbeda (out of the box). Kita bisa melihat bahwa ketegangan perdagangan AS dengan sejumlah negara seperti China, Eropa, Turki dan lainnya sebetulnya mengindikasi kan bahwa terdapat permasalahan mendasar yang tengah dihadapi di ekonomi domestik AS.

Kita saksikan, langkah-langkah de-globalisasi dan penggunaan instrumen ekonomi sebagai alat menekan negara lain. Ini sesuai sinyalemen David Allen Baldwin, ilmuwan politik senior Universitas Princeton, AS dalam buku Economic Statecraft, menandakan ada permasalahan struktural yang tengah ditutupi-tutupi di AS.

Bagaimanapun, struktur ekonomi AS belum lepas dari kondisi global imbalances. Pemerintah AS secara rutin terpaksa menerbitkan surat utang jangka pendek demi membiayai kebutuhan pembiayaan jangka panjang. Hal ini jelas meningkatkan risiko pemegang obligasi AS. Risiko ini meningkat seiring besarnya defisit ganda AS, baik defisit transaksi berjalan maupun defisit fiskal. Mungkin secara rating tidak terlihat, tapi bukankah dulu subprime mortgage sebelum menjadi pemicu krisis keuangan global (global financial crisis) tahun 2008 juga merupakan obligasi dengan rating tertinggi?

Ketidakseimbangan global (global imbalances) adalah konsekuensi logis kondisi AS akibat tekanan defisit transaksi berjalan yang sangat besar. Alih-alih membaik, James Sweeney, Kepala Ekonom Credit Suisses menyatakan, kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump memperburuk defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan AS.

Saat ini pemerintah AS harus memikirkan cara memperpanjang (rollover) sekitar 28% surat hutangnya dari total hutang tahun 2018, senilai lebih dari US$ 3 triliun. Sebagian kalangan mengestimasi defisit anggaran The Fed diperkirakan ikut meningkat melebihi $1 triliun tahun 2019. Kebijakan Trump menurunkan pajak untuk mendorong pertumbuhan dan mengurangi penganguran, berdampak kepada meningkatnya ketergantungan AS terhadap pembiayaan jangka pendek. Kebijakan ekspansi fiskal tersebut akan memaksa AS mengeluarkan obligasi baru dalam jumlah besar, yang berimplikasi turunnya harga obligasi berdenominasi dollar AS yang over supply, tercermin dari kenaikan yield obligasi jangka pendek AS. Dari sini kita bisa menilai bahwa kenaikan yield dan suku bunga AS bukanlah indikasi ekonomi AS membaik. Justru, ini memberi sinyal penurunan harga obligasi berdenominasi dollar AS.

Perubahan selera China

Saat AS mengucurkan lebih dari US$ 4 triliun dalam skema quantitative easing (QE) ketika krisis global tahun 2008, China rela menyerap sekitar US$ 2.5 triliun. China yang memborong obligasi AS pasca krisis global ini menjelaskan kenapa imbal hasil dan premi risiko obligasi AS saat itu tidak melonjak naik dan sovereign rating AS tidak seketika merosot, meski AS menggelontorkan obligasi dalam jumlah yang tidak satupun ekonom pernah terbayangkan sebelumnya.

Namun demikian saat ini berbeda. Tiongkok seolah mengalami perubahan selera dalam memegang obligasi AS, tercermin dari menurunnya cadangan devisa China sekitar US$ 1 triliun sejak tahun 2015. China terlihat ingin lepas dari kondisi tersandera dari keistimewaan AS selaku pemegang mata uang internasional (reserve currency). Barry Eichengreen, ekonom terkemuka AS menyimpulkan: Biro pencetakan uang AS hanya membutuhkan beberapa sen untuk menerbitkan surat utang (uang) senilai US$ 100, tapi negara lain harus membayar senilai US$ 100 penuh dengan barang yang nyata untuk dapat memilikinya. Lalu beban utang obligasi AS terjaga rendah. Hal ini terlihat dari obligasi jangka pendek (tenor dua tahun) AS yang hanya perlu mengeluarkan imbal hasil rata-rata dibawah 1% sejak tahun 2008.

Satu-satunya alasan utama China menyerap obligasi AS saat ini adalah demi menjaga nilai cadangan devisa China berdenominasi dollar AS, yang terlanjur diakumulasi dan sempat menyentuh US$ 4 triliun tahun 2015. Namun semakin lama, risiko memegang obligasi AS semakin meningkat seiring semakin besarnya kebutuhan pembiayaan defisit pembiayaan dan likuiditas di AS. Padahal tingkat imbal hasil berinvestasi dalam aset keuangan berdenominasi AS ini sangat rendah. Jika China sampai benar-benar enggan menyerap kembali obligasi baru AS, kenaikan yield AS secara drastis akan sulit terelakkan.

Kondisi rapuhnya struktur ekonomi AS ini segera dibaca pasar. Tim peneliti JP Morgan, sebagaimana dikutip Fortune (http://fortune.com/2018/09/13/jpmorgan-next-financial-crisis/) tanggal 13 September 2018 menyatakan, akan ada krisis keuangan global tahun 2020. Karena itu, Indonesia harus benar-benar menyadari dan mengantisipasi eskalasi risiko krisis baru ini.

IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi global mencapai 3.9% tahun 2018, memproyeksikan perekonomian dunia sekilas terlihat mengalami perbaikan. Namun dalam konferensi publikasi World Economic Outlook 2018, di Davos, Swiss, Kepala Ekonom IMF, Maurice Obstfeld justru mengingatkan bahwa momentum (pertumbuhan) ekonomi ini dipengaruhi banyak faktor yang diperkirakan tidak bertahan lama. Bahkan guru besar ekonomi Universitas Berkley, AS ini mengingatkan, pemerintahan dunia agar segera mengambil langkah strategis untuk menjadikan perekonomian tumbuh lebih inklusif, agar bertahan pada krisis ekonomi berikutnya.

Karena itu Indonesia harus bersiap, bersatu dan bersegera merumuskan strategi terbaik. Bahkan jika memungkinkan, Indonesia membantu dunia dalam merumuskan arsitektur keuangan internasional yang baru, yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

Terkait kondisi Indonesia, Oxfam Indonesia bersama International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) melaporkan semakin tajamnya ketimpangan di Indonesia. Tahun 2017 berada peringkat 6 terburuk dan harta 4 orang terkaya di Indonesia sudah setara dengan total harta 100 juta penduduk miskin Indonesia. Target sustainable development goals (SDGs) menjadi semakin menjauh dari harapan.

Karena itu bagi Indonesia, ketepatan dan kecepatan mengantisipasi dari daya kejut eksternal dampak perkembangan dinamika global, semakin menentukan. Ketahanan ekonomi dan kemandirian dalam pembangunan adalah prioritas. Bukan mengisolasi diri, tapi menyadari keterbukaan ekonomi harus diikuti kekuatan daya saing. Keunggulan komparatif atas sumber daya alam dan manusia harus dilengkapi dengan instrument kebijakan yang mengarahkan keunggulan kompetitif. Prinsip ini perlu terbaca dengan jelas dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang menyentuh kebijakan moneter, fiskal, sektor riil dan kebijakan sumber daya manusia.•

Prayudhi Azwar
Ekonom Bank Indonesia Institute *Opini Pribadi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×