kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perjalanan Made Andika Putra merintis usaha tenun celup khas Bali


Sabtu, 05 Januari 2019 / 14:15 WIB
Perjalanan Made Andika Putra merintis usaha tenun celup khas Bali


Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Awalnya coba-coba, tapi hasil akhirnya benar-benar menggoda. Begitu kisah I Made Andika Putra yang sukses berbisnis kain tenun celup khas Bali dengan menggunakan pewarna alami.

Di bawah bendera CV Tarum Bali Sejahtera, kini saban bulan Andika memproduksi total 5.000 meter kain tenun celup. Dengan karyawan 30 orang, dia bisa mengantongi pendapatan Rp 350 juta per bulan.

Lelaki kelahiran Singaraja, Bali, 2 Desember 1984, ini mulanya bereksperimen membuat pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan. Saat itu, ia baru duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP).  

Adalah sang kakak, I Made Arsana Yasa, yang memiliki usaha pencelupan memakai pewarna kimia yang memintanya melakukan percobaan itu. Bisnis kakaknya di daerah Seminyak berkongsi dengan orang Jepang.

Namun proses menemukan dan mengaplikasikan pewarna alami itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Andika butuh waktu empat tahun untuk menghasilkan pewarna alami. “Setiap pulang sekolah, saya cari daun, semua jenis daun, juga jenis kayu yang ada di sekitar,” kisahnya.

Akhirnya dia bisa menghasilkan warna alami. Namun, pewarna itu tidak mau menempel di kain. “Saya tidak tahu bagaimana cara ngikat warnanya,” kata Andika.

Kebuntuan itu pun pecah setelah kakaknya berbisnis ke Rote, Nusa Tenggara Timur, dan Surabaya, Jawa Timur, pada 2001. Dari perjalanan bisnis tersebut, sang kakak mengetahui cara mengikat pewarna alami di kain tenun.

Ini jadi titik awal Andika merintis usaha kain tenun celup bersama sang kakak. Kakaknya pun mengakhiri kongsi dengan mitra asal Jepang.

Mereka membangun bengkel kerja di daerah Gianyar. “Masih sampai sekarang, tapi sekarang lebih luas saja,” imbuhnya yang merintis usaha ini dengan modal sebesar Rp 25 juta.

Dewi Fortuna langsung datang ke usaha Andika yang waktu itu belum berstatus commanditaire vennootschap (CV). Ada orang Belanda, yang merupakan pelanggan kakaknya dulu, memesan pewarnaan alami untuk kain miliknya sepanjang 1.000 meter. Ia ingin menjual di negaranya.

Waktu itu, pengerjaannya masih menggunakan tenaga manusia penuh. Mulai pencarian daun untuk bahan pewarna, pemotongan bahan, pencelupan, hingga pencucian. Andika sampai harus merekrut 10 pekerja sekaligus kala itu.

Sempat mau tutup

Namun masalah kembali datang. Serangan bom bunuh diri pada 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang memukul pariwisata Bali. Kunjungan wisatawan asing yang menjadi pasar utama kain tenun celup Andika merosot tajam.

Lantaran order sepi, dia terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) semua karyawannya. “Sempat pesimistis, sih, ingin tutup, karena ampai tahun 2004 usaha kami benar-benar sepi,” ujarnya.

Kebetulan, Andika punya alat las besi. Ia pun membuat rak dan hanger, kemudian menawarkannya ke pabrik konveksi kecil. Hasil penjualan dia kumpulkan buat belajar membuat kain tenun, termasuk membeli bahan-bahannya. Untuk itu, ia membayar seorang pandai tenun untuk mengajarkan pembuatan kain tersebut.

Andika tertarik membikin tenun lantaran melihat wisatawan mancanegara yang mulai mengalir ke pulau dewata kembali membeli tenun lokal. “Saya juga melihat, pariwisata Bali sudah mau pulih dan yakin akan kembali normal,” kata dia.

Plus, di 2004 ada event bertajuk Bali Fashion Week. Tak mau membuang kesempatan,  Andika ikut dalam hajatan itu dengan menyewa stan Rp 10 juta. “Dari situ mulai titik balik usaha kami,” ungkap Andika.

Cuma, karena baru pertama kali ikut pameran, ia pikir sebatas memamerkan produk saja, bukan untuk jualan. Alhasil, dia tidak banyak membawa tenun celup di Bali Fashion Week yang berlangsung selama lima hari. “Jadi, jualan kartu nama saja,” tambah dia.

Ternyata, dua minggu setelah pameran, datang pembeli yang waktu itu mengambil kartu nama usahanya yang sudah menyandang status CV. Kebanyakan adalah warga China yang tinggal di Bali, Surabaya, serta Jakarta.

Andika menduga, para pembeli dari negeri tembok raksasa sudah membaca tren pencelupan alami (natural dyeing) bakal bagus ke depan. “Ada yang mau kontrak sampai 20 tahun, ada yang mau beli usaha kami, macam-macam penawaran yang datang,” katanya.

Memperluas pasar

Dari semua penawaran yang masuk, Andika mengambil proposal kerjasama selama lima tahun. Si penawar asal China itu punya banyak toko di Ubud dan Denpasar, juga pabrik konveksi. Nama perusahaannya di Bali adalah Pithecanthropus.

Andika pun membuat perjanjian hitam di atas putih yang isinya: apapun yang Tarum Bali buat, maka Pithecanthropus akan membeli semuanya. Tetapi, Tarum Bali tidak boleh menjual tenun ke pihak lain. “Ini membuat kami seperti pengemis yang setiap bulan sekali baru dibayar,” sebutnya.

Untuk menyiasatinya, Andika terus berkreasi, dengan menciptakan bermacam motif. Alhasil, di tahun keempat kerjasama, Pithecanthropus tak bisa membeli semua produk Tarum Bali.

Ini jadi peluang Andika mengakhiri kontrak setahun lebih cepat. Namun, Pithecanthropus masih bisa mengambil tenun dari Tarum Bali.

Andika lalu mencari pelanggan baru dengan memasang iklan di Bali Advertisers, majalah untuk ekspatriat. Strateginya berhasil.

Satu per satu pembeli berdatangan. Macam-macam juga ordernya. Ada yang memesan tenun celup untuk baju yoga, ada yang mengorder untuk interior rumah.

“Sampai 2012, pasar kami para ekspatriat. Harga tenun celup waktu itu Rp 75.000–Rp 85.000 per meter. Sekarang Rp 155.000 per meter,” bebernya.

Selepas 2012, barulah Andika merambah pasar lokal. Awalnya, ia mendapat proyek untuk membuat tenun. Cuma, kapasitas produksinya sudah penuh. Ia pun menggandeng mitra dari Tuban, Jawa Timur.

Nah, mitra ini sering mengikuti pameran di Jakarta. Sang mitra lalu menawari Andika untuk menitipkan produknya  di ajang Indonesia Fashion Week. Ia pun menitip 50 selendang tenun celupnya. Ternyata,  hanya tersisa lima helai.

Di 2013, Andika ikut Indonesia Fashion Week dengan membuka stan sendiri. Puncaknya pada 2015, produknya mendapat respons luar biasa. Dalam tiga hari, produknya habis terjual. Banyak pula desainer mengajaknya berkolaborasi.

Selain menjual tenun celup untuk bahan pakaian dan interior rumah, Andika juga menyediakan jasa pencelupan. Pelanggan bisa membawa tenun atau kain lainnya untuk pencelupan dengan pewarna alami.

Andika menawarkan lima warna dasar, yakni merah, biru, kuning, coklat, dan hitam. “Semua dari daun. Saya mikirnya untuk jangka panjang, jadi tidak pakai batang dan akar pohon, hanya daun,” tegasnya.

Warna kuning berasal dari daun mangga. Kelir coklat dari daun mahoni,  hitam dari daun keteteng, merah dari daun secang, biru dari daun tarum. Nah, kata Andika, warna biru yang paling mahal lantaran pembuatannya susah.

Kecuali secang yang berasal dari Jawa, daun lainnya merupakan hasil dari kebun milik Andika. Pada 2010, ia membeli tanah seluas dua hektare untuk perkebunan di Gilianyar.

Untuk proses produksi, bagian pencelupan masih menggunakan tenaga manusia. Sedang proses pencucian dan pengeringan kain memakai mesin. “Kami juga beli mesin pencacah daun dan oven untuk mengeringkan daun,” imbuhnya.

Saat ini, selain memiliki 30 karyawan di bagian produksi, Andika bekerja sama dengan 40 perajin tenun di Tuban, Gianyar, dan Lombok.

Andika punya impian, pewarna alami yang kini masih berupa cairan kelak bisa menjadi bubuk sehingga warnanya cepat keluar dan awet. “Tapi ini kan harus melibatkan banyak orang, kimiawan, peneliti. Kalau untuk produk, kami terus dan selalu berinovasi, berkreasi membuat produk berkualitas,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×