Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - SEOUL. Ekspor Korea Selatan tumbuh pada laju paling lambat dalam 14 bulan pada April 2022. Alhasil, defisit perdagangan melebar karena pengiriman ke China menyusut dan kenaikan harga energi serta bahan mentah mendorong impor.
Minggu (1/5), berdasarkan data Kementerian Perdagangan Korea Selatan, ekspor tumbuh 12,6% secara year on year (yoy) menjadi US$ 57,69 miliar. Ini menjadi kenaikan paling lambat bagi ekspor Korea Selatan sejak Februari 2021.
Realisasi tersebut juga di bawah perkiraan pertumbuhan 14,5% dalam jajak pendapat yang dilakukan Reuters dan lebih lambat dari kenaikan 18,2% yoy pada bulan Maret 2022.
Data perdagangan bulanan Korea Selatan, yang pertama dirilis di antara negara-negara pengekspor utama, dianggap sebagai penentu utama perdagangan global.
Ekspor ke China, mitra dagang terbesar Korea Selatan, dirugikan oleh kebijakan nol-coronavirus Beijing, dengan penguncian memukul produksi industri dan mengganggu rantai pasokan.
Baca Juga: Harga Ayam Goreng di Korea Selatan Ini Naik Akibat Larangan Ekspor CPO
Itu membuat pengiriman ke China turun 3,4%, sedangkan ke Amerika Serikat (AS) naik 26,4% dan ke Uni Eropa melonjak 7,4%.
Ekspor semikonduktor, penghasil devisa utama negara itu, naik 15,8%. Sedangkan ekspor produk petrokimia naik 6,8%. Pengiriman minyak keluar melonjak 68,8% dan produk baja naik 21,1%.
Di saat yang sama, impor Korea Selatan justru meningkat 18,6% menjadi US$ 60,35 miliar. Lonjakan tersebut dipimpin oleh gabungan impor minyak mentah, gas, dan batubara yang nilainya capai US$ 14,81 miliar.
Dengan itu, defisit perdagangan Korea Selatan pada bulan April 2022 capai US$ 2,66 miliar. Realisasi ini lebih lebar dari defisit neraca perdagangan pada bulan Maret 2022 yang sebesar US$ 115 juta.
Perlambatan ekspor terjadi ketika negara itu memerangi inflasi yang sangat panas. Bulan lalu, Bank of Korea menaikkan suku bunga acuan ke level tertinggi sejak Agustus 2019 dalam sebuah langkah mengejutkan pasar.
BOK mengungkapkan, kekhawatiran bahwa ekonomi diperkirakan akan meleset dari perkiraan pertumbuhan bank sentral pada Februari yang sebesar 3% untuk tahun ini.