Sumber: CNN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
PARIS. Pada malam di mana ribuan warga Paris dan wisatawan menikmati pertandingan bola antara Prancis dan Jerman, terjadi serangan yang mengerikan di kota tersebut.
Teroris -yang menggunakan senjata AK-47 dan bom- menyerang sejumlah wilayah di ibukota Prancis dan stadion di mana dihelat pertandingan bola kedua negara.
Berdasarkan keterangan saksi mata di aula konser Bataclan, dua orang berpakaian hitam-hitam melepaskan tembakan dengan menggunakan senjata AK-47. Setelah sejumlah korban jatuh ke lantai, mereka kembali menembaki mereka.
Keduanya tidak mengenakan topeng dan tidak mengatakan apapun. Tembakan itu berlangsung selama 10 hingga 15 menit, yang menyebabkan kerumunan di dalam aula konser panik.
Lantas, sebuah ledakan terdengan di Stade de France, di luar Paris. Disinyalir, bom tersebut merupakan aksi bunuh diri. Seorang sumber mengatakan, ditemukan bagian tubuh yang tercerai berai akibat ledakan dari perangkat yang meledak di lokasi kejadian.
Jumlah korban tewas dari total serangan di Paris pada Jumat malam cukup mencengangkan. Berdasarkan data terkini yang dihimpun CNN, setidaknya 153 orang tewas akibat penembakan dan ledakan bom di Paris dan Saint Denis.
Menurut penuturan Kementerian Dalam Negeri Prancis, 112 orang di antaranya tewas di hall konser Bataclan.
Dilaporkan pula, tim unit SWAT menyerbu ke aula konser Bataclan dan menghentikan aksi terorisme di dalamnya. Pada kejadian itu, dua teroris dinyatakan tewas.
Setidaknya, ada 100 sandera berhasil dibebaskan dari tempat konser tersebut. Beberapa di antaranya terluka.
Presiden Prancis Francois Hollande kepada reporter mengatakan, upaya teroris yang meneror Prancis harus mengetahui bahwa rakyat Prancis akan bersatu untuk memerangi mereka.
"Ini merupakan kejadian horor. Menghadapi teror, Prancis mengetahui bagaimana membela diri, bagaimana memobilisasi pasukan, dan tahu bagaimana mengatasi teroris," jelas Hollande.
Menurut Deputy Mayor Patrick Klugman, jumlah korban yang tewas akibat serangan ini akan bertambah secara signifikan.
"Kita menghadapi situasi yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah Prancis," kata Klugman.