kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Stabilitas yang mahal


Senin, 19 November 2018 / 12:46 WIB
Stabilitas yang mahal


Reporter: Mesti Sinaga | Editor: Tri Adi

Pertumbuhan atau stabilitas. Ini pilihan sulit yang harus diambil Bank Indonesia. Dan, Kamis (15/11) lalu, bank sentral sudah memilih. Untuk menjaga stabilitas rupiah, BI kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6%. Sejak April 2018 lalu, suku bunga acuan sudah naik 6 kali dengan total kenaikan 1,75%.

Bagai tonikum yang ces pleng, kenaikan bunga acuan langsung menguatkan rupiah. Berdasar kurs tengah BI, rupiah yang per 15 November Rp 14.764 langsung perkasa menjadi Rp 14.594 (16/11).

Kenaikan suku bunga acuan ini di luar perkiraan pasar. Rupanya, BI ingin mendahului kenaikan bunga acuan AS yang diperkirakan terjadi Desember nanti. Langkah ini dilakukan agar tak ada lagi arus dana keluar, syukur-syukur ada dana masuk.

Ya, itu memang dana panas. Tapi saat Indonesia mengalami defisit kembar (defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan), kehadiran dana panas pun perlu. Salah satunya untuk menopang rupiah. Sebab pelemahan rupiah yang berlarut-larut bisa berdampak sangat buruk bagi anggaran dan ekonomi kita.

Namun, bunga tinggi mahal biayanya. Pertumbuhan ekonomi akan melambat. Sebab bunga simpanan dan bunga kredit akan ikut naik. Ini akan mengikis daya beli masyarakat lantaran cicilan kredit, seperti KPR atau kredit kendaraan (KPM) naik. Dunia usaha yang meminjam dana di bank juga harus memikul kenaikan biaya dana. Ujung-ujungnya, kegiatan konsumsi, produksi dan ekspansi dunia usaha terganggu.

Perbankan yang merupakan urat nadi perekonomian dalam posisi sulit. Risiko kredit macet naik, sementara likuiditasnya ketat. Ini tercermin dari rasio kredit terhadap simpanan yang sudah 95%, jauh di atas batas ideal maksimal 92%. Bank juga harus bersaing merebut dana publik dengan pemerintah yang getol menjual surat utang dengan bunga tinggi. Saat ini misalnya, pemerintah sedang menawarkan Sukuk Tabungan dengan kupon 8,3%.

Kini pemerintah memang mengandalkan penjualan surat berharga negara (SBN) sebagai sumber utama pembiayaan defisit anggaran. Nah, kenaikan suku bunga acuan otomatis membuat biaya bunga SBN ikut membengkak.

Di tengah kelesuan ekonomi dunia akibat perang dagang, ditambah lagi era bunga tinggi, maka kian sulit bagi kita keluar dari jebakan bayar bunga utang dengan berutang. Tapi, ya itu tadi, kenaikan suku bunga menjadi pilihan demi stabilitas. Ibarat kebakaran, maka apinya harus dipadamkan lebih dulu.•

Mesti Sinaga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×