kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Waspada pelemahan ekonomi China


Sabtu, 17 Februari 2018 / 11:30 WIB
Waspada pelemahan ekonomi China


Reporter: Adinda Ade Mustami, Ghina Ghaliya Quddus, Herlina KD, Ramadhani Prihatini, Sinar Putri S.Utami | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan masih dalam tren melemah tahun ini. Sempat terpuruk tahun 2016 dengan pertumbuhan ekonomi 6,7% dari kisaran 7% per tahun, laju ekonomi China tahun lalu kembali menanjak 6,9%. Hanya tahun ini ekonomi China diperkirakan hanya bergerak di 6,3%.

Ekonomi China di tahun Anjing Tanah ini diprediksi kembali melambat seiring dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Riset Deutsche Bank yang dirilis Desember 2017 lalu menyebutkan, China menghadapi beberapa tantangan struktural dalam lima tahun ke depan. Antara lain kenaikan suku bunga global, masalah angkatan kerja yang terus menyusut, dan keterbatasan investasi di sektor properti dan infrastruktur.

Jumlah angkatan kerja di China menyusut menjadi kurang dari 785,5 juta jiwa pada 2017. Padahal pada tahun 2016 angkatan kerja di China masih sekitar 787 juta jiwa. Imbasnya, ekonomi China pada tahun ini diprediksi kembali melambat ke kisaran 6,3% dan masih akan berlanjut di tahun 2019. Pada tahun 2018, perubahan kondisi ekonomi global akan berimbas ke perekonomian China.

Kebijakan sejumlah bank sentral dunia seperti European Central Bank dan Bank of Japan yang memperketat kebijakan moneternya menjadi konfirmasi pengurangan stimulus. Ditambah kenaikan suku bunga The Fed dan kebijakan pajak AS, tentu akan berdampak pada perekonomian global dan China.

Kondisi domestik China juga mengalami berbagai perubahan signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Antara lain, keuntungan demografi China akan segera berakhir lantaran populasi penduduk muda relatif lebih rendah ketimbang populasi penduduk tua. Padahal selama ini besarnya angkatan kerja di China menjadi modal yang kuat bagi industrialisasi di China.

Waspadai pengetatan

Lantaran sejumlah faktor penghambat ini, Deutchse Bank dalam risetnya memperkirakan ekonomi China akan melambat ke level 6,3% di tahun ini. Perkiraan ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, kebijakan fiskal dan moneter pada semester I akan diperketat. Kedua, investasi akan melanjutkan tren penurunan seiring dengan langkah kebijakan pengetatan dan kondisi finansial.

Karena itulah saat ini Pemerintah China tidak lagi memprioritaskan pertumbuhan ekonomi secara kuantitas. Sebaliknya, China akan lebih fokus untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Meski pertumbuhan belanja modal diperkirakan lebih rendah dari tahun lalu, tapi di saat yang sama konsumsi diperkirakan tetap tumbuh ditopang oleh tren kenaikan upah buruh di China.

Dorongan konsumsi yang masih kuat diharapkan mampu mendorong pertumbuhan impor China tahun ini hingga 10%, melampaui pertumbuhan ekspor pada tahun yang sama yang diperkirakan 7%.

Ekonom Bank Central Asia David Sumual memprediksi, pada tahun ini ekonomi China cenderung stabil. Hal itu karena Negeri Tirai Bambu itu kini tengah melakukan berbagai upaya restrukturisasi ekonomi.

Oleh karena itu Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira berharap Indonesia mencermati arah kebijakan ekonomi China. Sebab, ia bilang setiap kenaikan 1% pertumbuhan ekonomi China akan mendorong kenaikan ekonomi Indonesia 0,1%. "Sebagian besar ekspor dan impor kita dengan China," ujarnya Kamis (15/2).

Indonesia juga perlu mewaspadai pengetatan moneter China, imbas dari pengetatan moneter Amerika Serikat. "Ini akan berimplikasi pada suku bunga di Indonesia terdorong naik," tutur Bhima.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo berharap perlambatan ekonomi China tahun ini tidak berdampak banyak terhadap ekonomi domestik. Apalagi konsumsi dan ekspor China diperkirakan tetap tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×