Sumber: Russia Today | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - RUSSIA TODAY - Dalam sebuah konferensi pers yang memancing kontroversi, Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengemukakan ambisinya untuk mengambil alih Greenland, wilayah otonom milik Denmark.
Pernyataan ini menimbulkan reaksi beragam, baik dari Uni Eropa, Denmark, hingga Rusia, yang menganggap ide tersebut sebagai langkah "eksentrik" dan "sulit direalisasikan."
Namun, apakah ambisi ini sekadar retorika politik atau cerminan dari strategi geopolitik jangka panjang Amerika?
Baca Juga: Gak Banyak Omon-omon! Vietnam akan Bangun Kereta Cepat 1.541 km Senilai US$ 67 miliar
Dalam konferensi pers tersebut, Trump menyebut bahwa pengambilalihan Greenland merupakan kebutuhan strategis untuk keamanan nasional AS.
Ia bahkan tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan militer jika diperlukan. “Kami membutuhkan Greenland demi kepentingan keamanan nasional,” ujarnya.
Greenland, dengan lokasi strategisnya di antara Samudra Atlantik dan Arktik, serta kekayaan sumber daya alamnya, telah lama menjadi fokus kepentingan geopolitik global.
Tambahan lagi, pangkalan militer AS di Thule memberikan landasan penting bagi operasi strategis di kawasan Arktik.
Tonton: Politisi Kanada Serang Balik Trump, Ingin Membeli Dua Negara Bagian AS
Namun, pernyataan Trump tidak berhenti di sana. Ia juga menambahkan bahwa mungkin saja Denmark tidak memiliki “hak legal” atas Greenland.
Komentar ini semakin memperkeruh hubungan diplomatik dengan Kopenhagen, yang selama ini bersikukuh bahwa pulau terbesar di dunia tersebut bukan untuk dijual.
Uni Eropa, melalui perwakilannya, menyebut klaim Trump sebagai "spekulasi tingkat tinggi." Paula Pinho, juru bicara Komisi Eropa, menyatakan bahwa “adegan ini masih sangat teoritis” dan tidak perlu menjadi perhatian utama saat ini.
Namun, ia juga menegaskan bahwa kedaulatan negara-negara anggota Uni Eropa, termasuk Denmark, harus dihormati. Artikel 42(7) dalam perjanjian Uni Eropa, yang menjamin pertahanan kolektif, akan diaktifkan jika ada serangan terhadap wilayah tersebut.
Denmark sendiri, bersama pemerintah Greenland, dengan tegas menolak usulan ini. Greenland telah memiliki otonomi sejak 1979 dan terus menegaskan bahwa pulau tersebut bukan untuk dijual. Perdana Menteri Denmark bahkan menyebut aspirasi Trump sebagai “tidak serius.”
Rusia juga ikut angkat bicara mengenai ambisi Trump ini. Duta Besar Rusia untuk Denmark, Vladimir Barbin, memperingatkan bahwa langkah seperti ini akan memengaruhi perencanaan militer Rusia.
Dmitry Medvedev, Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, bahkan menyebut rencana Trump sebagai “langkah yang berlebihan dan sulit diterapkan.”
Greenland, selain memiliki cadangan sumber daya alam seperti emas dan uranium, juga diperkirakan menyimpan potensi besar untuk eksplorasi minyak dan gas.
Dengan mencairnya es di kawasan Arktik akibat perubahan iklim, rute pelayaran baru dan sumber daya ini menjadi incaran banyak negara, termasuk AS, China, dan Rusia.
Baca Juga: Pemimpin Greenland Akan Bertemu Raja Denmark di Tengah Upaya Trump Menjajah Wilayah
Antara Ambisi dan Kenyataan
Meski ambisi Trump terhadap Greenland memunculkan polemik, para analis geopolitik melihat ini sebagai bagian dari upayanya memperluas pengaruh global AS.
Seperti dilaporkan Reuters, Trump serius dengan gagasan ini dan melihatnya sebagai langkah untuk meninggalkan warisan geopolitik yang abadi.
Namun, dengan kompleksitas hukum internasional, resistensi dari Denmark, dan dinamika global yang penuh ketegangan, rencana ini tampaknya lebih menyerupai fantasi daripada kenyataan.
Greenland, dengan populasi hanya sekitar 57.000 orang, mungkin kecil secara demografi, tetapi posisinya dalam peta geopolitik dunia sangatlah besar.
Apakah Trump benar-benar akan mewujudkan ambisi ini atau hanya menjadikannya alat retorika politik? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti, isu Greenland telah membuka babak baru dalam diskusi geopolitik global.