Sumber: The Guardian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah hampir enam minggu diblokir, pengguna di Brasil akan segera mendapatkan kembali akses ke platform X (sebelumnya Twitter), setelah keputusan penting yang dikeluarkan oleh Hakim Mahkamah Agung Brasil.
Larangan ini awalnya diperkenalkan sebagai respons atas kegagalan Elon Musk, pemilik platform X, untuk mematuhi hukum Brasil. Keputusan ini menandai akhir dari perseteruan yang panjang antara Musk dan otoritas tertinggi di Brasil terkait penyebaran informasi yang salah dan konten anti-demokrasi.
Latar Belakang Larangan
Pada akhir Agustus 2024, X diblokir di Brasil, yang merupakan puncak dari perdebatan panjang antara Elon Musk dan Mahkamah Agung Brasil. Negara ini memiliki lebih dari 22 juta pengguna X sebelum larangan diberlakukan.
Baca Juga: Mark Zuckerberg Menjadi Miliarder Keempat Bernilai US$200 Miliar
Salah satu penyebab langsung dari pemblokiran ini adalah kegagalan Musk untuk menunjuk perwakilan lokal dan membayar denda yang mencapai jutaan dolar.
Namun, perseteruan ini juga dipicu oleh kekhawatiran Mahkamah Agung Brasil terhadap penyebaran konten disinformasi dan propaganda politik yang berbahaya di platform tersebut, terutama terkait dengan ekstremisme sayap kanan dan upaya anti-demokrasi.
Otoritas Brasil menuding bahwa penyebaran konten radikal di X berkontribusi pada kerusuhan besar di Brasília pada Januari 2023, yang diinisiasi oleh kelompok-kelompok ekstrem kanan. Musk sendiri dikenal memiliki afiliasi dengan tokoh-tokoh sayap kanan, termasuk mantan presiden Brasil, Jair Bolsonaro.
Tanggapan Musk dan Perselisihan dengan Mahkamah Agung
Menanggapi larangan tersebut, Musk bereaksi dengan kemarahan. Ia menyebut Hakim Mahkamah Agung, Alexandre de Moraes, sebagai diktator dan bahkan membuat perbandingan tak pantas dengan karakter "Voldemort" dari dunia fiksi.
Sikap Musk yang terbuka melawan otoritas Brasil ini memperkeruh situasi, menambah dimensi politik pada perseteruan yang sudah sensitif tersebut.
Baca Juga: Mark Zuckerberg Geser Jeff Bezos Jadi Orang Terkaya Kedua di Dunia!
Namun, baru-baru ini Musk tampaknya melunak. Ia akhirnya membayar denda sebesar 28,6 juta reais (sekitar £3,9 juta) dan menunjuk seorang pengacara Brasil sebagai perwakilan resmi platform X, sesuai dengan persyaratan hukum negara tersebut.
Langkah ini membuat Hakim Moraes memutuskan untuk mencabut larangan yang diberlakukan, memungkinkan kembalinya aktivitas X di Brasil.
Reaksi Terhadap Pencabutan Larangan
Keputusan ini disambut dengan berbagai reaksi dari masyarakat Brasil. Banyak komentator politik dan aktivis pro-demokrasi memuji keputusan tersebut sebagai kemenangan bagi institusi dan kedaulatan negara.
Gerson Camarotti, seorang komentator politik ternama, menegaskan bahwa larangan tersebut bukanlah bentuk penyensoran, melainkan upaya menegakkan supremasi hukum di Brasil. Menurutnya, keputusan ini memperlihatkan bahwa demokrasi Brasil tidak terganggu meskipun tanpa keberadaan platform X.
Organisasi Sleeping Giants, yang aktif dalam advokasi hak asasi manusia dan regulasi media sosial, juga menyatakan dukungannya terhadap keputusan tersebut.
Mereka menilai bahwa larangan sementara terhadap X adalah langkah penting untuk memastikan semua perusahaan teknologi besar, termasuk X, mematuhi hukum Brasil, terutama ketika hak asasi manusia dan lembaga-lembaga demokratis berada dalam ancaman.
Baca Juga: FAA Meminta Investigasi Atas Insiden Roket Falcon 9 SpaceX
Dampak Larangan dan Kembalinya X
Selama enam minggu larangan, kehidupan sosial dan politik di Brasil terus berjalan normal. Sejumlah besar pengguna media sosial Brasil berpindah ke platform saingan, seperti Bluesky, tanpa mengalami gangguan yang signifikan.
Hal ini memperlihatkan bahwa absennya X tidak memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Brasil. Seperti yang dinyatakan oleh Camarotti, "Tidak ada yang mati karena absennya X di Brasil."
Namun, dengan kembalinya X, tantangan bagi pemerintah dan Mahkamah Agung adalah bagaimana memastikan bahwa platform tersebut tetap mematuhi peraturan setempat dan tidak lagi menjadi sarana penyebaran kebencian atau propaganda politik yang berbahaya.