Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. China mendesak Amerika Serikat untuk menghapus apa yang disebut sebagai tarif tidak masuk akal agar perdagangan bilateral, khususnya kedelai, dapat kembali berkembang.
Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, He Yadong, pada Kamis (25/9/2025), ketika ditanya apakah China berencana membeli kedelai dari AS.
“Untuk perdagangan kedelai, Amerika Serikat seharusnya mengambil tindakan positif dengan membatalkan tarif yang tidak masuk akal, sehingga tercipta kondisi bagi ekspansi perdagangan bilateral,” ujar He dalam konferensi pers.
Baca Juga: China Borong Kedelai Argentina Setelah Pemerintah Buenos Aires Hapus Pajak Ekspor
China Masih Pilih Pasokan dari Amerika Selatan
Meskipun merupakan importir kedelai terbesar dunia, China hingga kini belum melakukan pemesanan terhadap pasokan kedelai dari panen musim gugur AS. Sebaliknya, Beijing lebih banyak mengandalkan pasokan dari Amerika Selatan, terutama Brasil, yang belakangan semakin mendominasi pasar global.
Kondisi ini membuat petani AS berpotensi kehilangan miliaran dolar dari penjualan kedelai, akibat ketegangan dagang yang belum terselesaikan.
Sinyal Positif dari Pertemuan dengan Delegasi AS
Awal pekan ini, Li Chenggang, negosiator perdagangan senior China, bertemu dengan para pemimpin politik dan bisnis dari wilayah Midwest AS, kawasan utama penghasil kedelai. Pertemuan itu memberi sinyal bahwa Beijing masih membuka peluang untuk membeli kedelai AS menjelang pembicaraan dagang yang lebih luas.
Baca Juga: Harga Kedelai AS Tertekan Minimnya Permintaan China
Namun, sejumlah perbedaan teknis masih menjadi penghambat negosiasi, dengan pejabat perdagangan kedua negara dijadwalkan kembali bertemu di Departemen Keuangan AS pada Kamis.
Dampak pada Petani AS dan Pasar Global
Keterlambatan pembelian kedelai oleh China menambah tekanan pada petani AS, yang sudah menghadapi tantangan harga dan persaingan global.
Jika ketegangan dagang terus berlanjut, dominasi Amerika Serikat di pasar kedelai dunia bisa semakin terkikis oleh negara-negara produsen lain, khususnya Brasil.