Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Nina Dwiantika
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Daya beli konsumen Amerika Serikat masih menjadi penopang utama perekonomian. Namun, di balik angka konsumsi yang tampak solid, kemampuan belanja rumah tangga menunjukkan ketimpangan yang kian nyata antar kelompok pendapatan.
Pemerintah AS mencatat produk domestik bruto (PDB) tumbuh 4,3% secara tahunan pada kuartal III-2025, dengan konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama. Hanya saja, kekuatan daya beli ini tidak dirasakan merata, jika dirinci, kelas menengah dan bawah semakin berhati-hati membelanjakan uangnya, seiring pasar tenaga kerja yang mulai melunak dan meningkatnya kekhawatiran inflasi akibat kebijakan tarif impor.
"Tekanan biaya hidup masih menjadi perhatian utama konsumen, meskipun ada perbaikan ekonomi di akhir tahun," ujar Joanne Hsu, Direktur Survei Konsumen University of Michigan, mengutip Reuters (26/12). Sentimen konsumen masih jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu, mencerminkan kecemasan rumah tangga terhadap kondisi ekonomi ke depan.
Hingga November 2025, tingkat pengangguran AS tercatat 4,6%, tertinggi dalam empat tahun terakhir. Kondisi ini turut menekan kepercayaan konsumen. Survei University of Michigan menunjukkan, hampir dua pertiga responden memperkirakan pengangguran akan meningkat pada tahun depan.
Baca Juga: New York Akan Wajibkan Medsos Menampilkan Peringatan Kesehatan Mental untuk Anak-Anak
Tahan diri berbelanja
Ketimpangan daya beli terlihat jelas dari pola belanja. Bank of America Institute mencatat, belanja konsumen dari sepertiga kelompok pendapatan tertinggi tumbuh 4% secara tahunan pada November, menjadi laju tercepat dalam empat tahun. Sebaliknya, belanja rumah tangga dari kelompok pendapatan terbawah hanya meningkat kurang dari 1%.
"Kelompok menengah dan bawah masih berada di bawah tekanan dan sangat fokus pada kebutuhan pokok," kata Joe Feldman, analis ritel dari Telsey Advisory Group. Menurutnya, konsumen kini lebih berhati-hati dan mengutamakan efisiensi dalam berbelanja.
Kondisi ini turut mengubah peta industri ritel. Peritel yang mengandalkan harga murah dan strategi nilai ekonomis mencatatkan kinerja yang lebih baik. Walmart, misalnya, menyebut konsumennya kini semakin selektif dalam memilih produk.
Ke depan, tekanan terhadap daya beli berpotensi berlanjut. Feldman menilai dampak tarif impor belum sepenuhnya tercermin pada harga barang dan bisa memicu kenaikan harga yang lebih luas pada 2026.
Baca Juga: Jual Senjata ke Taiwan, China Beri Sanksi Perusahaan Pertahanan AS













