Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Twitter Inc dan Facebook Inc telah memicu kemarahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, dua jejaring sosial terbesar di dunia inipun malah melakukan pendekatan yang berlawan dengan pemerintahan Trump.
Mengutip artikel Bloomberg, Jumat (29/5) hal ini dipicu kabar perintah eksekutif Donald Trump yang berencana mengubah aturan yang memberi wewenang media sosial mengatur konten para penggunanya. Wacana ini muncul lantaran Trump merasakan adanya pembatasan kebebasan berekspresi di media sosial.
Apalagi, dua perusahaan raksasa itu memiliki jutaan pengguna yang bisa mengarahkan opini publik, bahkan mempengaruhi pilihan politik.
Baca Juga: Trump berencana tinjau UU Komunikasi yang melindungi Twitter dkk
CEO Facebook Mark Zuckerberg menanggapi hal tersebut dan mengatakan bahwa pihaknya tidak punya kewajiban untuk menjadi wasit kebenaran.
Twitter malah sebelumnya telah mengambil langkah berlawanan dengan arahan Trump sejak tahun lalu dengan melarang semua iklan politik. Sementara itu Bos Twitter Jack Dorsey mengatakan perusahaannya akan menegakkan kebijakan dengan mengidentifikasi konten politik atau konten yang bisa mengundang perdebatan antar kubu poilitik.
Terbaru, Twitter juga memutuskan untuk tidak melakukan tindak lanjut dari cuitan Trump yang mendorong teori konspirasi terkait kematian seorang pembantu yang meninggal di kantor Perwakilan Joe Scarborough pada tahun 2001 bahkan setelah suami almarhum meminta Dorsey untuk menghapus cuitan Trump.
Sebagai informasi saja, Donald Trump sebelumnya telah menandatangani perintah eksekutif yang dapat mengurangi perlindungan terhadap perusahaan internet atau media sosial.
Baca Juga: Twitter fact-checks Trump tweet for the first time
Trump menandatangani wacana tersebut setelah Twitter melakukan cek fakta atas salah satu cuitannya. Dalam perintah eksekutif itu, Trump ingin mengubah pasal 230 pada Undang-Undang Keterbukaan Komunikasi AS.
Adapun, pasal 230 mengatur tentang perlindungan kepada perusahaan media sosial dari tanggungjawab atas konten yang diunggah oleh penggunanya. Keputusan ini, mendapat kecaman keras dari Facebook dan Twitter dan menilai hal tersebut merupakan bentuk politisasi terhadap hukum kebebasan berekspresi dan demokrasi.