Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek batubara makin meragukan. Harga komoditas ini melandai ke level terendah dalam empat tahun. Padahal di saat yang sama, pasokan batubara sangat rendah. Beberapa penambang kini tak lagi ekspansi tambang baru. Perbankan di beberapa negara sudah tidak ingin memberi pinjaman kepada pertambangan karena tidak ingin berjudi dengan prospek komoditas batubara.
Harga batubara global yang lesu membayangi masa depan komoditas yang paling banyak dikonsumsi di dunia ini. Kontrak batubara termal Australia yang menjadi patokan untuk pasar Asia, mendekati US$ 100 per ton.
Ini level harga terendah sejak Mei 2021, sebelum pergolakan pasar energi akibat invasi Rusia ke Ukraina. Penurunan ini lantaran musim dingin yang ringan dan kelebihan pasokan global. Di saat sama, investasi pada tambang batubara baru telah menyusut, karena pemegang saham dan pihak perbankan tak memberi pinjaman baru.
Baca Juga: IMA dan APBI: Perlu Masa Transisi 6 Bulan untuk Penerapan HBA Jadi Standar Ekspor
Selain itu, permintaan batubara juga dibayangi rencana negara-negara dunia mewujudkan target iklim. "Banyak mitra usaha patungan minoritas kami di seluruh dunia, khususnya di Australia, ingin keluar dari batubara uap," kata Gary Nagle, Kepala Eksekutif Glencore Plc dikutip Bloomberg, kemarin.
Seperti sudah diungkapkan sebelumnya, perbankan di berbagai negara banyak mengurangi pinjaman untuk proyek batubara karena alasan etika dan kekhawatiran pemodal yang tidak ingin mendanai aset yang akan ditutup, sebelum dapat menghasilkan keuntungan.
Saat ini penambang juga lebih memilih untuk membeli kapasitas yang ada, tetapi tidak untuk mengembangkan dari awal. Di seluruh dunia, perusahaan yang memiliki proyek baru bisa memasok 1,8 miliar metrik ton batubara termal per tahun. Pasokan tersebut 76% untuk pembangkit listrik di China dan India.
Dari 70 negara yang dipantau Global Energy Monitor, hanya 10 yang memiliki rencana meningkatkan produksi dengan nilai lebih dari 10 juta ton. Sebagian besar tidak mengembangkan tambang baru sama sekali.
Baca Juga: Ekspor Batubara Wajib Pakai HBA Mulai 1 Maret Namun, Aturan Teknis Belum Terbit
Masalahnya, meskipun pasokan terbatas, permintaan terus meningkat, karena jutaan rumah dialiri listrik, mobil diisi daya dan pabrik dibangun.
Melonjaknya energi hijau memang mengurangi kebutuhan bahan bakar fosil, tapi tak signifikan. Di India, permintaan batubara akan naik hingga 1,5 miliar ton per tahun hingga Maret 2030, menurut perkiraan Kementerian Batubara India.
Kebutuhan juga datang dari perusahaan teknologi yang gencar membangun pusat data untuk mendukung komputasi awan dan akal imitasi (AI). AS dan Jepang memperpanjang usia pembangkit listrik yang telah dijadwalkan untuk ditutup.
Jerman juga mempertahankan pembangkit listrik batubara yang tidak beroperasi, karena butuh waktu lebih lama untuk membangun pembangkit listrik gas baru yang dibutuhkan setelah negara ini menutup fasilitas nuklir pada 2023.
Tidak mengherankan, International Energy Agency telah merevisi prospek harga batubara lebih tinggi dalam empat laporan tahunan terakhirnya. Laporan tersebut memaparkan permintaan global diperkirakan naik 1% hingga 2027.
Namun di saat ini, China mengalami kelebihan pasokan. Penyedia informasi industri China Coal Resource memperkirakan total persediaan naik 21% secara tahunan menjadi 665 juta ton hingga Desember. Jumlah ini cukup memasok lebih dari sebulan. Sementara perusahaan batubara terbesar di China berhenti membeli batubara dari luar negeri.
Baca Juga: Komisi XII DPR Dukung Ekspor Batubara Wajib Pakai HBA: Harus Menguntungkan Rakyat