Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - TEHERAN. Ketegangan antara Amerika Serikat dengan Iran semakin memanas pasca terbunuhnya Jenderal Qassem Soleimani, Pimpinan Militer Iran pada akhir pekan lalu. Melansir The Independent, Iran sedang mempertimbangkan "13 skenario untuk balas dendam" terhadap AS.
Ali Shamkhani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi (SNSC) Iran, mengatakan, "Misi untuk membalas saudara kita yang terbunuh tidak akan terbatas pada satu operasi tunggal," demikian seperti yang dikutip The Independent dari kantor berita Fars.
Disebutkan pula, "Hingga saat ini, 13 skenario untuk balas dendam telah diusulkan," katanya. "Bahkan jika ada konsensus tentang skenario terlemah, mengeksekusinya dapat berubah menjadi mimpi buruk bersejarah bagi Amerika."
Namun, SNSC kemudian membantah bahwa Shamkhani telah memberikan pernyataan tersebut dalam sebuah wawancara.
Baca Juga: Lelang SUN perdana sukses berkat kombinasi sentimen eksternal dan internal
Sekretariat SNSC mengatakan: "Sebuah surat kabar lokal kemarin melakukan tindak pidana dan menghubungkan wawancara dengan sekretaris SNSC yang belum terjadi. Tindakan hukum sedang dilakukan untuk memahami bagaimana dan mengapa wawancara tersebut diproduksi dan dipublikasikan." Klaim SNSC ini juga belum terbukti.
Pernyataan Shamkhani tersebut menyusul ancaman serupa dari pejabat tinggi Iran ketika kemarahan negara itu memuncak atas pembunuhan Soleimani.
Pemimpin Garda Revolusi Iran pada hari Selasa mengancam akan "membakar" tempat-tempat yang didukung oleh Amerika Serikat dalam pidatonya kepada kerumunan ribuan orang di kota kelahiran Soleimani di Kerman.
Baca Juga: Iran: Donald Trump tunjukkan ke dunia siap untuk melakukan kejahatan perang
"Kami akan membalas dendam. Kami akan membakar di mana mereka suka," kata Hossein Salami di hadapan ribuan massa sambil meneriakkan, "Matilah Israel!"
Soleimani, pemimpin Pasukan Quds Iran, tewas dalam serangan pesawat tak berawak pada 3 Januari di bandara Baghdad. Penyerangan tersebut diperintahkan oleh Donald Trump setelah sebelumnya peningkatan ketegangan antara pasukan militer AS dan milisi yang didukung Iran di Irak kian panas.