Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada 17 Mei 2025, Indonesia resmi menaikkan tarif bea ekspor untuk minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Keputusan ini berpotensi menciptakan dinamika harga global yang lebih menguntungkan bagi pelaku industri sawit Malaysia, terutama sektor hilir.
Mengutip theedgemalaysia, dalam catatan riset terbaru, RHB Investment Bank menyebutkan bahwa langkah ini akan mempersempit keunggulan biaya yang selama ini dinikmati oleh produsen hilir sawit Indonesia, sekaligus meningkatkan daya saing para perajin dan eksportir CPO Malaysia.
Detail Kenaikan Tarif Ekspor CPO dan Produk Turunan
Perubahan tarif yang diumumkan oleh pemerintah Indonesia mencakup:
-
Bea ekspor CPO meningkat dari 7,5% menjadi 10%
-
Bea ekspor minyak sawit olahan naik dari 4,5% menjadi 7,5%
-
Tarif untuk biodiesel naik dari 3% menjadi 4,75%
Baca Juga: Mulai 17 Mei 2025, Pungutan Ekspor CPO Naik jadi 10%
Kebijakan fiskal ini dimaksudkan untuk memperkuat Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), terutama guna mendukung program mandat B40 biodiesel dan replanting nasional di sektor perkebunan kelapa sawit.
Peluang Bagi Pemain Malaysia: SD Guthrie, Johor Plantations, dan Sarawak Oil Palms
RHB menyebutkan bahwa dengan kenaikan bea ini, margin keunggulan biaya bagi produsen hilir Indonesia akan turun dari sekitar US$84 per ton menjadi US$80 per ton. Selisih ini membuka peluang signifikan bagi perusahaan sawit Malaysia untuk merebut pangsa pasar yang lebih besar di pasar global.
Beberapa emiten Malaysia yang dinilai berpotensi mendapat keuntungan dari kondisi ini antara lain:
-
SD Guthrie Bhd (KL:SDG)
-
Johor Plantations Group Bhd (KL:JPG)
-
Sarawak Oil Palms Bhd (KL:SOP)
Perusahaan-perusahaan ini diproyeksikan memperoleh keunggulan kompetitif dalam ekspor dan penyempurnaan produk hilir sawit, berkat struktur biaya yang relatif lebih stabil dibandingkan kompetitor dari Indonesia.
Penurunan Potensial Pendapatan bagi Perusahaan Sawit Indonesia
Sebaliknya, RHB memperkirakan bahwa perusahaan sawit Indonesia akan mengalami penurunan pendapatan tahunan sebesar 6% hingga 12%, dengan asumsi harga CPO global tetap berada di kisaran RM4.300 per ton. Bea ekspor yang lebih tinggi dapat menekan harga jual efektif CPO Indonesia sebesar RM75 hingga RM113 per ton, tergantung kondisi pasar.
Dampak ini lebih nyata bagi perusahaan sawit Indonesia dan perusahaan yang terdaftar di bursa Singapura yang memiliki operasi besar di sektor hulu Indonesia. Harga jual rata-rata mereka bisa menurun hingga RM108 per ton, yang berdampak langsung terhadap margin dan profitabilitas tahunan.
Baca Juga: Gapki: Ada Potensi Penurunan Ekspor CPO Imbas Perang India-Pakistan
Stabilitas Subsidi Biodiesel Indonesia Masih Aman
Meskipun terjadi penyesuaian tarif ekspor, RHB meyakini bahwa Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Indonesia masih memiliki cadangan dana yang cukup untuk mempertahankan subsidi untuk program biodiesel B40.
Asumsi ini berlaku selama harga minyak solar global tetap di atas US$49 per barel, angka yang dianggap sebagai ambang batas keekonomian program subsidi biodiesel nasional.
Prospek Emiten Sawit Malaysia: IOI Corporation dan KL Kepong Masuk Radar Investor
Di luar sektor hilir, RHB juga menyoroti IOI Corporation Bhd (KL:IOICORP) dan Kuala Lumpur Kepong Bhd (KL:KLK) sebagai dua perusahaan dengan potensi kenaikan laba signifikan akibat dinamika harga CPO yang lebih menguntungkan.
Kedua perusahaan ini memiliki eksposur besar di sektor hulu dan hilir, serta keunggulan logistik dan infrastruktur yang siap dimanfaatkan untuk menanggapi perubahan lanskap pasar sawit global.