Sumber: CNBC | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
SYDNEY. Perusahaan tambang terbesar dunia, BHP Billiton, melaporkan kerugian yang menembus rekor senilai US$ 6,4 miliar (yoy). Kinerja perusahaan terpukul oleh taruhan buruk atas minyak serpih, bencana bendungan di Brazil, dan anjloknya harga komoditas.
"Saat harga komoditas diprediksi masih akan tetap rendah dan volatil dalam jangka pendek dan menengah, kami yakin dalam jangka panjang outlook bagi komoditas kami cukup baik, khususnya minyak dan tembaga," jelas Chief Executive BHP Andrew Mackenzie.
Meskipun tidak memasukkan penyusutan aset dan beban operasional senilai US$ 7,7 miliar, laba perusahaan tetap anjlok 81% menjadi US$ 1,2 miliar untuk tahun keuangan yang berakhir Juni 2016 dari tahun sebelumnya US$ 6,4 miliar. Laba perusahaan terkikis oleh lemahnya harga bijih besi, tembaga, batubara, minyak, dan gas.
Kendati demikian, laba perusahaan masih lebih baik dari prediksi analis yang mematok angka US$ 1,1 miliar.
Analis UBS mengkalkulasi, bahwa kerugian saat ini merupakan kerugian terbesar sepanjang sejarah yang dialami BHP Billiton sejak 1851.
Kerugian paling besar berasal dari beban biaya yang dikenakan kepada perusahaan setelah runtuhnya bendungan bijih besi Samarco di Brazil pada November lalu. Bendungan tersebut dikelola bersama dengan perusahaan Vale asal Brazil.
Pada kejadian itu, 18 orang tewas dan satu orang masih dinyatakan hilang. Banjir akibat runtuhnya bendungan menghancurkan lahan pertanian dan mencapai daerah perkotaan, sehingga banyak warga yang tidak bisa kembali ke rumahnya.
Sebelumnya, BHP memprediksi, biaya yang harus dikeluarkan akibat kejadian ini berkisar US$ 1,1 miliar-US$ 1,3 miliar.