Sumber: Channelnewsasia.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Tagar #KaburAjaDulu menjadi fenomena baru di media sosial dalam beberapa Waktu terakhir, tepatnya sejak awal 2025.
Tagar ini menjadi bentuk ungkapan generasi muda, Gen Z, terhadap kondisi di dalam negeri. Sebut saja perekonomian, peluang kerja, kualitas hidup, kebijakan pemerintah, dan lain sebagainya.
Sejumlah media asing menyoroti tagar #KaburAjaDulu di laporannya. Salah satunya adalah Channel News Asia (CNA).
Dalam laporannya berjudul "Why young Indonesians want to ‘run away’ from the country, and the cost of a brain drain" yang terbit tanggal 29 September 2025, CNA menjelaskan banyak anak muda Indonesia kini tergoda untuk mencari hidup di luar negeri, fenomena yang populer dengan tagar #KaburAjaDulu.
Gaji lebih tinggi, peluang karier lebih luas, dan kualitas hidup yang dianggap lebih baik menjadi alasan utama.
CNA kemudian mewawancarai seorang anak muda asal Indonesia Edwin Yusuf. Edwin pindah ke Bangkok dan mendapat bayaran 50–60% lebih tinggi daripada saat bekerja di Jakarta. Meski harus berpisah dari anaknya, ia tetap memilih bertahan karena merasa lebih dihargai di luar negeri.
Fenomena #KaburAjaDulu mencerminkan keresahan generasi muda terhadap kondisi dalam negeri. Survei Populix pada 2025 menunjukkan seluruh responden ingin meninggalkan Indonesia, dengan 82% menyebut penghasilan lebih tinggi di luar negeri sebagai motivasi utama.
Baca Juga: Gen Z Susah Cari Kerja? Ini Resep dari Kemenaker
Generasi yang terlibat umumnya berusia 18–35 tahun, berpendidikan tinggi, dan berasal dari kelas menengah. Mereka menganggap kesempatan berkembang di Indonesia terbatas dan pemerintah gagal menciptakan iklim yang mendukung.
Masalah ekonomi dan lapangan kerja memperparah situasi. Saat ini, pengangguran mencapai 7 juta orang, termasuk lebih dari 1 juta sarjana. Tingkat pengangguran anak muda usia 15–24 tahun bahkan lebih dari 16%.
Industri manufaktur, yang dulu menyerap banyak tenaga kerja, kini melemah. Ditambah lagi, kebijakan penghematan anggaran pemerintah membuat sektor perhotelan dan pariwisata memangkas tenaga kerja, sehingga banyak anak muda beralih ke pekerjaan informal dengan gaji rendah dan tanpa jaminan sosial.
Kondisi ini menimbulkan risiko serius berupa brain drain. Indonesia kini berada di peringkat ke-90 dari 179 negara dalam indikator “human flight and brain drain”. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai US$500 juta–US$1 miliar per tahun akibat hilangnya produktivitas dan pajak. Dampaknya juga meluas ke dunia teknologi dan akademik. Pendanaan startup merosot, sementara banyak akademisi berbakat lebih memilih mengajar di luar negeri.
Pemerintah mencoba merespons dengan menaikkan status Badan Perlindungan Pekerja Migran menjadi kementerian, menyediakan pelatihan bahasa, hingga mewacanakan kewarganegaraan ganda. Namun para pengamat menilai solusi mendasar adalah menciptakan lapangan kerja, merevitalisasi sektor ekonomi, serta mengatasi masalah korupsi dan birokrasi. Tanpa langkah nyata, anak muda berbakat akan terus mencari peluang di luar negeri dan enggan kembali.
Baca Juga: Merek Mewah Gagal Pikat Gen Z? Coach & Miu Miu Ungkap Triknya!
Meski begitu, masih ada harapan dari mereka yang memilih bertahan. Kisah Andanu Prasetyo, pendiri Toko Kopi Tuku, menunjukkan bahwa peluang juga bisa tumbuh di tanah air. Dari satu kedai kecil, kini ia mengelola lebih dari 60 gerai dan mempekerjakan 1.000 orang.
Namun, selama kondisi dalam negeri belum membaik, tren #KaburAjaDulu tampaknya akan tetap kuat, menandai kegalauan generasi muda antara bertahan membangun negeri atau mencari hidup yang lebih layak di luar batas negara.
Tonton: Steven Wang, CEO 23 Tahun yang Ingin Ubah Cara Gen Z Berinvestasi