Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Dikky Setiawan
SYDNEY. Perekonomian China tercatat melambat pada Desember 2015 dalam kepemimpinan Komunis yang berjuang dalam masa transisi ekspansi konsumen. Ini merupakan batas terlemah yang dialami Cina sejak resesi global pada tahun 2009 silam.
Seperti dilansir Bloomberg, produksi industri, penjualan ritel, dan investasi aset pendapatan tetap tercatat melambat pada akhir tahun lalu. Produk domestik bruto naik 6,8% pada kuartal keempat dari tahun sebelumnya. Secara tahunan, pertumbuhan PDB Cina mencapai 6,9% atau sedikit dibawah target pemerintahnya yang sebesar 7%.
Tekanan yang terjadi pada sektor industri mengancam akan menyebar ke sektor konsumsi dan jasa. Padahal, pembuat kebijakan tengah mempertimbangkan kebutuhan untuk pelonggaran moneter yang berisiko memicu kelemahan lebih dalam terhadap yuan dan arus modal keluar.
"Pertumbuhan masih terjadi, belum runtuh. Langkah-langkah stimulus kebijakan akan membantu dan diperlukan untuk membantu perekonomian bertransisi dari ketergantungan pada industri manufaktur dan investasi ke jasa-jasa dan konsumsi," ujar Shane Oliver, Kepala Strategi Investasi dan Ekonom AMP Capital Investors Ltd Sydney.
Hasil produksi industri mencatatkan keuntungan terlemah dalam seperempat abad terakhir ini. Pertumbuhannya hanya 5,9% pada akhir tahun lalu. Sedikit dibawah proyeksi analis yang memperkirakan pertumbuhan produksi industri di Cina menyentuh 6,2%.
Adapun, penjualan ritel tumbuh 11,1% atau lebih rendah dari proyeksi ekonom, yakni sebesar 11,3%. Sementara, investasi aset tetap, tidak termasuk daerah pedesaan, mencapai 10% akhir tahun lalu. Ini merupakan titik paling rendah sejak tahun 2000 silam.
"Ini dapat mempersulit pemerintah dalam upaya menyeimbangkan pelaksanaan reformasi ekonomi dan mempertahankan pertumbuhan. Pertumbuhan kuartal keempat hanya 1,6% dari kuartal ke kuartal dengan pertumbuhan tahunan 6,4% atau lebih rendah dari target 6,5%," imbuh Daili Wang, Ekonom Roubini Global Economics LLC di Singapura.
Pimpinan pemerintah China memberikan sinyal dalam beberapa bulan terakhir untuk mengerem beberapa sektor untuk bertumbuh. Namun, tidak ada yang bisa mengancam rencana Presiden Xi Jinping untuk mengantongi pertumbuhan ekonomi setidaknya 6,5% pada tahun 2020 mendatang.
Menurut beberapa ekonom, China selaku negara dengan ekonomi kedua terbesar di dunia akan menahan pertumbuhannya 6,5% pada tahun ini dan 6,3% pada tahun depan. Tujuannya tak lain untuk tumbuh dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Liu Li-gang, Ekonom daratan China dari Australia and New Zealand Banking Group Ltd di Hong Kong menuturkan, tujuan untuk bertumbuh dalam jangka panjang untuk menghindari persoalan jeratan utang yang diprediksi akan dialami oleh perusahaan-perusahaan Cina dalam dua tahun mendatang.
Setelah kejutan devaluasi yuan tahun lalu, cadangan devisa yang terjun bebas dan kekalahan ekuitas yang dialami Cina, pasar saham negeri penghasil gingseng ini kembali jatuh pada awal tahun ini.
Kontribusi positif dari pertumbuhan ekonomi Cina sendiri banyak berasal dari konsumsi, jasa dan teknologi. Industri jasa menyumbang 50,5% dari hasil tahun lalu.
Tahun ini, fokus Cina sendiri akan lebih menekankan reformasi di beberapa bidang, seperti pada pemangkasan kelebihan kapasitas produksi industri, dan sektor tenaga kerja, termasuk juga memangkas pajak dan meningkatkan produktivitas.
"Kebijakan moneter Cina harus tetap akomodatif. Yang lebih penting, gejolak pasar baru-baru ini memperingatkan banyak kelemahan ekonomi Cina dan sistem keuangan," imbuh Zhou Hao, Ekonom Commerzbank AG di Singapura.