kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.902.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.450   167,00   1,00%
  • IDX 6.816   48,94   0,72%
  • KOMPAS100 985   6,24   0,64%
  • LQ45 763   1,83   0,24%
  • ISSI 216   1,39   0,64%
  • IDX30 397   1,52   0,38%
  • IDXHIDIV20 474   2,31   0,49%
  • IDX80 111   0,22   0,20%
  • IDXV30 115   -0,82   -0,71%
  • IDXQ30 130   0,67   0,52%

Survei Global Flourishing Study Harvard: Orang Indonesia Paling Sejahtera Lahir Batin


Minggu, 04 Mei 2025 / 22:48 WIB
Survei Global Flourishing Study Harvard: Orang Indonesia Paling Sejahtera Lahir Batin
ILUSTRASI. Global Flourishing Study Harvard, 2025


Sumber: Yahoo Finance | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Apakah kekayaan menjamin kebahagiaan? Sebuah studi global terbaru justru menyodorkan jawaban yang mengejutkan: tidak selalu!

Hal ini tergambar dalam hasil penelitian bertajuk Global Flourishing Study, salah satu survei kesejahteraan terbesar di dunia, melibatkan lebih dari 207.000 responden di 23 negara, termasuk Hong Kong, mencakup enam benua. 

Studi Kemakmuran Global  atau Global Flourishing Study (GFS) merupakan kolaborasi antara para peneliti di Program Kemakmuran Manusia di Harvard, Institut Studi Agama Universitas Baylor, dan Gallup untuk mengatasi keterbatasan dalam penelitian terkini tentang kemakmuran manusia. 

Baca Juga: Mark Zuckerberg Geser Larry Ellison sebagai Orang Terkaya Ketiga di Dunia

Studi ini menyelidiki apa yang berkontribusi pada kehidupan yang dijalani dengan baik — topik yang telah lama menempati tempat sentral dalam tradisi filsafat dan agama di seluruh dunia dan sepanjang sejarah.

Survei ini tidak hanya bertanya seputar keamanan finansial, tetapi juga menyentuh aspek-aspek mendasar dari kehidupan manusia: kesehatan fisik, kebahagiaan, makna hidup, karakter, hubungan sosial, dan kesejahteraan spiritual.

Penelitian ini diumumkan dalam konfrensi pers yang berlangsung di Washinton DC Amerika Serikat pada Rabu (30/4) pekan lalu.  Pemaparan hasil penelitian ini dihadiri oleh Dr. Tyler VanderWeele, Profesor Epidemiologi Harvard, John L. Loeb dan Frances Lehman Loeb di Departemen Epidemiologi dan Biostatistik di Harvard, lalu T.H. Chan dari School of Public Health, dan Direktur, Human Flourishing Program, Universitas Harvard.

Baca Juga: Finlandia Menjadi Negara Paling Bahagia di Dunia 2024!

Tak hanya itu, Byron Johnson, Director, Institute for Studies of Religion, Baylor University, Glen Comiso, Executive Director, Human Flourishing Program, Harvard University dan Matthew Lee, Professor, Institute for Studies of Religion, Baylor University turut hadir dalam acara konfrensi pers.

Hasil penelitian mengguncang peta kebahagiaan global yang selama ini didominasi negara-negara kaya. Indonesia berada di posisi teratas sebagai negara yang warganya paling bahagia tuntas dengan skor flourishing tertinggi, disusul Israel dan Filipina. Sementara Jepang, Turki, dan Inggris justru berada di posisi terbawah.

Temuan ini kontras dengan laporan tahunan World Happiness Report yang selama ini menempatkan negara-negara Eropa di puncak. Sebut saja Swedia, yang dalam laporan kebahagiaan menduduki peringkat keempat dunia, namun dalam studi flourishing justru berada di tengah-tengah bersama AS dan Afrika Selatan.

Baca Juga: 7 Daftar Ikan Air Tawar yang Paling Sering Dikonsumsi Orang Indonesia dari Nila-Bawal

Menurut Tyler VanderWeele, peneliti utama dari Universitas Harvard, perbedaan ini muncul karena indikator flourishing jauh lebih menyeluruh ketimbang sekadar persepsi evaluatif atas kehidupan seseorang. 

"Negara-negara kaya memang unggul dalam aspek keamanan finansial dan kepuasan hidup secara umum, namun mereka justru lemah dalam dimensi makna hidup, hubungan antarindividu, dan karakter pro-sosial," ujarnya dalam konferensi pers.

Lebih jauh, studi ini mengungkap bahwa pernikahan, tingkat pendidikan tinggi, dan keterlibatan dalam komunitas keagamaan berkorelasi positif dengan tingkat flourishing. Namun menariknya, pola ini tidak bersifat universal.

Di India dan Tanzania, individu lajang justru melaporkan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Di Hong Kong dan Australia, mereka yang berpendidikan rendah pun lebih mungkin merasa "berkembang" secara utuh.

Dalam konteks keagamaan, bahkan pengalaman menghadiri kegiatan keagamaan saat masa kecil terbukti punya pengaruh terhadap kualitas hidup saat dewasa.

Namun, sinyal peringatan muncul dari segmen usia muda. Secara global, orang-orang berusia 18 hingga 49 tahun menunjukkan tingkat *flourishing* yang datar, tanpa lonjakan signifikan hingga usia tua. Di beberapa negara seperti Jepang dan Kenya, tren ini berbentuk U: tinggi di awal, menurun di tengah usia, lalu meningkat kembali.

Peneliti mencurigai bahwa generasi muda saat ini menghadapi tantangan yang lebih berat dibanding pendahulunya, termasuk beban kesehatan mental. Namun mereka belum bisa memastikan apakah ini pola generasional atau justru sinyal bahwa dunia kini makin sulit bagi kaum muda.

“Di banyak negara, anak-anak muda tidak dalam kondisi baik,” ujar VanderWeele. “Ini adalah masalah serius yang perlu mendapat perhatian global.”

Studi ini menunjukkan bahwa menjadi "berkembang" dalam hidup bukan hanya soal seberapa banyak uang yang dimiliki. Makna, relasi, dan karakter — semua memainkan peran penting dalam merajut kebahagiaan sejati.

Selanjutnya: Pasar SBN Domestik Tetap Menarik, Ini Faktor Pendukungnya

Menarik Dibaca: 10 Jus Buah untuk Penderita Asam Lambung yang Aman Dikonsumsi



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM) Negotiation Mastery

[X]
×