Sumber: TribunNews.com | Editor: Uji Agung Santosa
TOKYO. Anggota mafia Jepang, Yakuza bukanlah orang bodoh. Terutama mengenai uang, mereka sangat pintar dan cepat sekali. Kekayaan kelompok terbesar Yamaguchi-gumi saja yang ketahuan US$ 80 miliar hanya permukaan saja.
Mungkin lebih dari jumlah itu karena lihainya Yakuza memindahkan uang ke tempat yang aman. Bahkan di belakang layar bernegosiasi dengan pihak Amerika Serikat sendiri, khususnya perusahaan investasi Goldman Sachs, meskipun akun mereka di black list di Amerika.
"Yakuza itu bukan orang bodoh terutama para pimpinannya. Mereka memiliki banyak uang ditaruh di luar negeri misalnya di Credit Suisse," papar Mitsuhiro Suganuma, mantan Kepala Badan Intelijen Keamanan Nasional Jepang, Jumat (10/10/2014) sore khusus kepada Tribunnews.com di kantornya, di mana dia juga sebagai Chairman Asosiasi Asia Socioeconomic Development Cooperation.
Tetapi setelah Amerika Serikat mem-blacklist (mendaftarhitamkan) akun bank para pimpinan Yakuza ini di Amerika dan pihak Amerika juga menghubungi pihak bank di Swiss, akhirnya uang itu segera ditarik ke luar. Menjadi masalah ke mana di bawanya? Akhirnya supaya Amerika tetap masuk investasi, larilah antara lain uang Yakuza itu ke akun perusahaan investasi Goldman Sachs, tambahnya.
Selain itu uang Yakuza juga lari ke negara yang ada tax heaven seperti Maladewa dan negara-negara kepulauan lain sehingga sulit ditelusuri.
"Bukan tidak mungkin ke negara-negara di Asia seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina dan sebagainya. Saya tak tahu kalau uang mereka juga masuk ke Indonesia," tekannya lagi. Tapi bukan tidak mungkin juga masuk ke Indonesia pula, tambahnya.
Suganuma yang dulunya terkenal galak dan tegas tidak pandang bulu, merupakan penegak hukum sangat senior dan sangat disegani di Jepang sampai kini. Keahliannya bukan hanya di bidang Yakuza tetapi juga kaitan dengan Korea dan berbagai kejahatan maupun terorisme layaknya seorang intelijen profesional. Meskipun kini usianya telah 78 tahun, dia masih segar, ingatannya masih tajam.(Richard Susilo)