Sumber: Reuters, Guardian |
BOSTON. Mereka berpakaian selayaknya remaja Amerika. Mereka suka olahraga. Dan satu dekade lalu, mereka berusaha beradaptasi setibanya di AS dari sebuah provinsi di Selatan Rusia, Dagestan. Inilah sekelumit kisah kedua kakak beradik yang menjadi pelaku peledakan dua bom di Boston pada hari Minggu lalu.
Teman-teman, guru, dan tetangga Dzhokhar dan Tamerlan Tsarnaev berkata mereka hanya melihat sedikit tanda radikalisme atau sesuatu yang tak biasa pada keduanya.
Kakak beradik Tsarnaev berdarah etnis Chechen. Kaum etnis Chechen menetap di negara kecil Chechnya, yang jadi bagian Republik Rusia, di pegunungan Kaukasia. Biar begitu, kaum Chechen yang beragama Islam secara etnis dan budaya tidak termasuk dalam Rusia. Malahan, sampai sekarang masih terus berusaha melepaskan diri dari Rusia.
Tamerlan, 26 tahun, bermimpi memenangkan kejuaraan tinju di Olimpiade. Ia terbunuh dalam baku tembak dengan polisi hari Kamis (18/4).
Dzhokhar, 19 tahun, masih SMA dan menyukai gulat. Ia ditangkap polisi hari Jumat malam setelah diburu selama hampir 24 jam.
24 jam setelah baku tembak terjadi, perjalanan kakak beradik ini di AS langsung didokumentasi lengkap oleh media-media AS. Media menulis, tahun 2002, Dzokhar mengungsi terlebih dulu di AS bersama orang tuanya. Baru kemudian, Tamarlan dan dua saudara lainnya menyusul dari Dagestan. Kemudian, ayah mereka Anzor, kembali ke Dagestan. Sementara si ibu, bolak-balik Dagestan-AS.
Jika asal-usul mereka sudah jelas, yang masih menjadi misteri adalah jejak psikologis keduanya. Terutama, apa motif mereka meledakkan bom.
Pada Jumat malam, FBI mengungkapkan bahwa mereka pernah mewawancarai Tamerlan di 2011. Wawancara itu atas permintaan sebuah negara. Namun, wawancara itu tidak menghasilkan informasi penting dan masalah itu dipeti-eskan.
Mempermalukan keluarga
Paman mereka, Ruslan Tsarni, merupakan yang paling banyak bicara sejauh ini. Tsarni yang tinggal di Maryland berkata tidak pernah bicara lagi pada Dzhokhar dan Tamerlan sejak tahun 2009.
"Dia mempermalukan keluarga kami. Dia mempermalukan semua etnis Chechen," ujar Tsarni mengenai Dzhokhar di depan para reporter AS.
Tapi ayah kedua kakak beradik itu berpendapat lain. Ketika diwawancarai CNN di Dagestan. sang ayah bersikeras bahwa anak-anaknya tak bertanggungjawab atas pemboman itu.
"Seseorang telah menjebak mereka - karena takut mereka menembaknya sampai mati. Saya sejujurnya tak dapat membayangkan siapa yang dapat melakukan ini. Siapa pun itu ia bajingan," ujarnya.
Pemimpin Republik Chechnya menulis dalam akun instagramnya, kemarin. "Upaya apapun untuk mengaitkan Chechnya dan Tsarnaev, jika terbukti bersalah, akan sia-sia. Mereka besar di AS, pandangan dan kepercayaan mereka dibentuk di sana. Akar kejahatan harus dicari di Amerika," tandasnya.
Anak Amerika
Teman-teman sekelas Dzhokhar berspekulasi bahwa kakaknya yang telah mempengaruhi si adik. Sebuah akun Youtube atas nama Tamerlan menampilkan dua video tentang terorisme.
Menurut bibinya, Tamerlan menjadi lebih religius dalam beberapa tahun terakhir.
Teman-teman dan kenalan Dzhokhar di Cambridge tak menangkap kejanggalan apapun. Mereka berkata, Dzhokhar tertawa pada lelucon apapun. Ia berusaha keras bergaul dengan semua orang. Ia menggunakan kata, 'dude'. Ia suka hip hop. Ia memang gugup dan agak canggung namun tidak di taraf yang membuat orang lain terganggu. Dan dia tidak banyak bicara politik.
"Serius, dia sangat sangat normal, tanpa aksen, bisa dibilang benar-benar anak Amerika," ujar Nate Mann, satu kelas di atas Dzhokhar di Cambridge Rindge & Latin School.
"Saya selalu bersimpati padanya karena ia, menurut saya, adalah seorang anak yang ingin diterima. Ia melakukannya dengan rendah hati, namun ia hanya berusaha bergail dengan anak-anak keren," tutur Taylor Conlin yang bermain di tim olah raga lacrosse Rindge bersama Dzhokhar.
Tak ada penampakan anak imigran di diri Dzhokhar. Ia gemar memakai sweater dan kaos seperti anak lainnya. Ia juga tak banyak bergaul dengan lingkaran Muslim di sekolah.
Punya anak istri
Tamerlan, yang dikenal sebagai Timmy, tampak lebih tak bersosialisasi.
"Saya tak punya seorang pun teman Amerika, Saya tak mengerti mereka," ujarnya dalam profil diri di majalah Comment yang diterbitkan Boston University's School of Communications.
Namun, Luis Vasquez, penasihat remaja yang bersekolah dengan Tamerlan dan tinggal dua blok dari rumah keluarga Tsarnaev punya kenangan berbeda. "Dia sangat sangat ramah. Dia punya selera humor," tutur Vasquez.
Tamerlan mempunyai seorang istri bernama Katherine Russel dan seorang anak perempuan. "Kami tidak bisa mengerti bagaimana tragedi mengerikan ini terjadi. Di akhir horor hari St. Patrick, kami tahu bahwa kami benar-benar tidak pernah mengetahui Tamerlan Tsarnaev. Hati kami sakit dengan horor yang telah ia ciptakan," ujar keluarga Russell.
Tamerlan merupakan mahasiswa akuntansi paruh waktu di Bunker Hill Community College in Boston. Dia kuliah di sana selama tiga semester sampai 2008.
Setelah memenangi Golden Gloves, kompetisi tinju amatir, Tamerlan berkata kepada sebuah koran lokal, "Saya suka Amerika Serikat...Amerika menyediakan banyak pekerjaan. Ini yang tidak dimiliki Rusia. Anda punya kesempatan mencari uang di sini jika Anda mau bekerja."
Majalah The Comment menulis bahwa Tamerlan ingin ikut Olimpiade. Dan ia ingin ikut untuk AS ketimbang Rusia, jika ia tak bisa mewakili negara Chechnya.