Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Nina Dwiantika
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Pergeseran sumber pembiayaan mulai terlihat di kawasan Asia Pasifik seiring dengan ketidakpastian terhadap kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS). Tidak hanya mengalihkan hubungan perdagangan untuk meredam dampak tarif AS, debitur Asia kini juga semakin agresif mencari pendanaan di pasar Eropa. Tren ini menandakan dominasi dolar AS dalam pendanaan global mulai tergerus.
Data Bloomberg (7/12) menunjukkan, porsi obligasi swasta dan pemerintah Asia Pasifik berdenominasi euro, naik 6% menjadi 23% dari total penerbitan lintas mata uang tahun ini. Nilai penerbitan sepanjang 2025 menjadi 86,4 miliar atau sekitar US$ 100,7 miliar, meningkat hingga 75%.
Sejumlah transaksi Asia bahkan tercatat sebagai penerbitan paling diminati di pasar obligasi Eropa saat peluncuran. Walaupun penerbitan obligasi dolar AS dari Asia masih naik 29% pada tahun ini, namun pangsa pasarnya mulai tergerus oleh naiknya minat terhadap euro. Melemahnya dolar sebesar 11% terhadap euro turut memperkuat daya tarik pendanaan di Benua Biru.
"Peminjam di Asia semakin membutuhkan diversifikasi untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS," kata Daniel Kim, Co-Head Debt Capital Markets Asia Pasifik HSBC. Ia menilai lonjakan penerbitan euro tahun ini didorong alasan strategis, bukan sekadar kebutuhan refinancing biasa.
Kebijakan perdagangan dan desakan Presiden AS Donald Trump kepada The Fed untuk memangkas bunga membuat kepercayaan investor terhadap dolar goyah. Hal ini memicu semakin banyaknya portofolio global yang beralih ke aset euro, termasuk dari Asia.
Baca Juga: Saat Robusta Brasil Bersiap Naik Kelas
Senada, Ben Wang, Head of Offshore China Debt Capital Markets Deutsche Bank menyampaikan, fenomena de-dolarisasi semakin kentara tahun ini. Selain faktor diversifikasi, biaya pendanaan euro lebih murah. Data Bloomberg, premi swap euro ke dolar turun ke level terendah dalam lima tahun, yakni hanya 3,1 bps.
Sejumlah analis menyebutkan bahwa prediksi runtuhnya dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan global terbesar, bukan hal baru. Data Bank for International Settlements menunjukkan, hingga Juni 2025, dolar masih mendominasi 63% penerbitan obligasi global, jauh di atas obligasi euro yang menduduki porsi sebanyak 25%.
Kendati demikian, ekonom Fujitsu Martin Schulz menilai, kenaikan minat terhadap obligasi euro merupakan bagian dari proses normalisasi, setelah ketergantungan penerbitan surat utang berdenominasi dolar AS.
Daya tarik pasar Eropa diperkirakan berlanjut ke 2026. Deutsche Bank memprediksi penerbitan obligasi euro dari Asia mencapai US$ 125 miliar tahun 2026 mendatang, naik lebih dari 20%.
Baca Juga: De-Dolarisasi Makin Nyata: China Jadi Raja Baru Pasar Emas Global













