Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Prospek ekonomi global saat ini semakin suram. Sebab, sulit untuk mengetahui kapan inflasi akan mencapai puncaknya, kapan inflasi akan turun, dan sejauh mana Federal Reserve pada akhirnya akan menaikkan suku bunga.
Sampai saat ini, juga tidak jelas apakah The Fed, dalam usahanya untuk menjinakkan inflasi, akan menaikkan suku bunga cukup tinggi untuk menyebabkan resesi. The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 150 basis poin sejak Maret.
Melansir The Street, bank sentral AS telah mengindikasikan 75 basis poin lagi pada pertemuan 27 Juli. Dan beberapa ahli memperkirakan bahwa total mulai Maret dan seterusnya akan menjadi 350 basis poin pada akhir tahun.
Salah satu yang mendorong The Fed untuk mendongkrak suku bunga adalah inflasi yang merajalela, di mana indeks harga konsumen melonjak 9,1% dalam 12 bulan terakhir hingga Juni. Ini merupakan level tertinggi dalam 40 tahun.
Baca Juga: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Tahun 2022 Jadi 3,2%
Kemungkinan resesi di musim panas
Mantan Menteri Keuangan Larry Summers adalah salah satu pakar yang melihat kemungkinan besar terjadinya resesi. Ekonom Harvard mencatat bahwa tidak pernah dalam 65 tahun terakhir inflasi berada di atas 4%, pengangguran di bawah 5% dan ekonomi tidak memasuki resesi dalam dua tahun ke depan.
Pengangguran mencapai 3,6% pada bulan Juni.
Summers dan sebagian besar ekonom lain yang memperkirakan resesi meyakini, resesi yang dialami Amerika akan ringan.
Akan tetapi Nouriel Roubini, kepala eksekutif Roubini Macro Associates, memprediksi sebaliknya.
“Ada banyak alasan mengapa kita akan mengalami resesi yang parah dan utang yang parah serta krisis keuangan,” jelas Roubini, yang juga dikenal sebagai Bapak Kiamat kepada Bloomberg pada Selasa (25/7/2022) seperti yang dikutip The Street.
Informasi saja, Roubini merupakan salah satu ahli ekonomi yang memperkirakan krisis keuangan 2008-2009.
Menurutnya, pendapat yang mengatakan resesi yang dialami AS akan berlangsung pendek dan dangkal benar-benar sebuah delusi.
Dalam sebuah artikel baru-baru ini di Project Syndicate, ia membandingkan kesulitan saat ini dengan tahun 1970-an dan 2008.
“Krisis berikutnya tidak akan seperti pendahulunya,” tulis Roubini.
Baca Juga: Bisa Berdampak ke RI, Ekonom DBS Ungkap Kondisi yang akan Menghantui Perekonomian AS
Dia menambahkan, “Pada 1970-an, kita mengalami stagflasi, tetapi tidak ada krisis utang besar-besaran, karena tingkat utang rendah. Setelah 2008, kita mengalami krisis utang, diikuti oleh inflasi atau deflasi yang rendah, karena krisis kredit telah menghasilkan kejutan permintaan yang negatif."
Nah, menurut Roubini, saat ini, ekonomi Amerika menghadapi guncangan pasokan dalam konteks tingkat utang yang jauh lebih tinggi.
"Hal itu menyiratkan bahwa kita sedang menuju kombinasi stagflasi gaya 1970-an dan krisis utang gaya 2008 – yaitu, krisis utang stagflasi," kata Roubini.
Untuk fiskal 2021, yang berakhir 30 September, defisit anggaran mencapai 12% dari PDB, rasio terburuk kedua (setelah 2020) sejak 1945.
"Adapun saham AS kemungkinan besar, mereka akan jatuh lebih rendah," kata Roubini. “Dalam resesi biasa, ekuitas AS dan global cenderung turun sekitar 35%."
"Tetapi, karena resesi berikutnya akan bersifat stagflasi dan disertai dengan krisis keuangan, jatuhnya pasar ekuitas bisa mendekati 50%," lanjutnya.
Baca Juga: Suku Bunga The Fed hingga Data Ekonomi Bakal Menyetir Wall Street
Sebelumnya pada akhir Juni 2022 lalu, mengutip Bloomberg, Ekonom Nomura Holdings Inc memprediksi, perekonomian AS kemungkinan besar akan jatuh ke dalam jurang resesi ringan pada akhir 2022 karena Federal Reserve menaikkan suku bunga untuk menjinakkan harga.
Nomura memperingatkan bahwa kondisi keuangan akan semakin ketat, sentimen konsumen memburuk, distorsi pasokan energi dan makanan memburuk dan prospek pertumbuhan global memburuk.
"Dengan momentum pertumbuhan yang melambat dengan cepat dan Fed berkomitmen untuk memulihkan stabilitas harga, kami percaya resesi ringan yang dimulai pada kuartal keempat 2022 sekarang lebih mungkin terjadi daripada tidak," tulis ekonom Nomura Aichi Amemiya dan Robert Dent dalam sebuah catatan Senin.
Menurut kedua ekonom Nomura tersebut, kelebihan tabungan dan neraca konsumen akan membantu mengurangi kecepatan kontraksi ekonomi. Namun, mereka mencatat bahwa kebijakan moneter dan fiskal akan dibatasi oleh inflasi yang tinggi.