Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) mulai menemukan pijakannya pada Senin (14/4), meskipun masih berada di dekat level terendah tiga tahun setelah pekan yang penuh gejolak akibat rencana tarif Presiden Donald Trump yang mengguncang pasar global dan merusak kepercayaan terhadap mata uang cadangan dunia itu.
Investor bersiap menghadapi pekan yang kembali volatil, menyusul kebijakan tarif Trump yang berubah-ubah, dari penetapan hingga penundaan secara tiba-tiba atas barang-barang impor ke AS, yang menimbulkan ketidakpastian di pasar.
Baca Juga: Bursa Asia Menguat Senin (14/4) Pagi, Tarik Nafas Usai Trump Tunda Tarif Elektronik
Pasar valuta asing cenderung bergerak stabil setelah Gedung Putih pada Jumat lalu mengumumkan pengecualian dari tarif tinggi untuk smartphone, komputer, dan beberapa elektronik lain yang sebagian besar diimpor dari China.
Namun, Trump menyatakan akhir pekan kemarin bahwa langkah ini hanya bersifat sementara.
"Untuk saat ini, semuanya ditangani dengan tidak konsisten, terlalu agresif, dan menciptakan ketidakpastian besar," kata analis pasar dari IG, Tony Sycamore. "Awan gelap itu masih berputar-putar dan belum benar-benar pergi."
Dolar AS Menguat Tipis, Euro Tetap Perkasa
Dolar terakhir tercatat naik 0,34% terhadap franc Swiss, setelah sebelumnya jatuh ke level terendah dalam satu dekade pada Jumat dan mencatat pekan terburuk terhadap mata uang tersebut dalam lebih dari dua tahun.
Baca Juga: Dolar AS Tak Bertaji, Beberapa Mata Uang Komoditas Mulai Unjuk Gigi
Sementara itu, euro terkoreksi tipis 0,13% menjadi US$ 1,1344, setelah pekan lalu melonjak 3,6% dan mencapai level tertinggi dalam tiga tahun.
Penguatan euro didorong arus dana investor yang menjauhi aset-aset AS dan mencari perlindungan ke Eropa.
"Saya pikir kita bisa melihat euro mencapai US$ 1,20 sekitar akhir Juli atau awal Agustus," tambah Sycamore.
Kekhawatiran atas kepemilikan aset berdenominasi dolar AS telah memicu arus keluar dana dari pasar AS menuju Eropa, sehingga turut menopang penguatan euro.
Pasar Obligasi Tekan Dolar, De-dolarisasi Berlanjut
Dolar AS juga melemah terhadap yen Jepang sebesar 0,2% ke level 143,79 dan terhadap poundsterling Inggris sebesar 0,33% menjadi US$ 1,3084.
Dolar Australia menguat 0,15% ke US$ 0,63035, melanjutkan kenaikan lebih dari 4% pada pekan lalu.
Indeks dolar AS terhadap sekeranjang mata uang global tercatat di 99,73, masih dekat posisi terendah dalam tiga tahun yang tercapai pada Jumat.
Baca Juga: Indeks Dolar AS Masih Tertekan, Rupiah Diprediksi Lanjut Menguat pada Senin (14/4)
“Pasar tengah mengevaluasi ulang daya tarik struktural dolar AS sebagai mata uang cadangan global, dan saat ini sedang mengalami proses de-dolarisasi yang cepat,” tulis George Saravelos, Kepala Riset Valas Global Deutsche Bank dalam catatan untuk klien.
Saravelos menambahkan, ini terlihat jelas dari kejatuhan nilai dolar dan pasar obligasi AS secara bersamaan.
Pekan lalu, aksi jual besar-besaran di pasar obligasi AS — sebagian dipicu pembongkaran posisi basis trade oleh hedge fund — menjadi beban besar bagi dolar.
Hingga Senin pagi, tidak terlihat tanda-tanda pemulihan di pasar obligasi, dengan imbal hasil obligasi tenor 10 tahun berada di 4,47%, mencatat lonjakan mingguan tertinggi dalam puluhan tahun.
“Kami yakin proses de-dolarisasi masih akan berlanjut, meskipun kami tetap terbuka terhadap kemungkinan arah dan bentuk keseimbangan baru dalam arsitektur keuangan global,” kata Saravelos.
Baca Juga: Perang Dagang Menekan Pergerakan Rupiah Dalam Sepekan
Di tempat lain, dolar Selandia Baru menguat 0,33% ke US$ 0,5843. Sementara yuan offshore China turun 0,17% menjadi 7,2941 per dolar menjelang pembukaan perdagangan pasar domestik.
Pekan lalu, yuan offshore sempat menyentuh rekor terendah sementara yuan onshore turun ke level terendah sejak 2007, seiring memanasnya perang dagang antara AS dan China.