Penulis: Virdita Ratriani
Pada 1796, Edward Jenner melakukan eksperimennya pada James Phipps yang berusia delapan tahun. Dia menguji teorinya, gadis pemerah susu yang menderita penyakit ringan cacar sapi tidak pernah tertular cacar, salah satu pembunuh terbesar pada masa itu, terutama di antara anak-anak.
Jenner kemudian menyuntikkan cairan dari lepuhan cacar sapi seorang gadis pemerah susu di Inggris kepada anak laki-laki berusia 8 tahun. Satu lepuhan muncul di tempat olesan tersebut, tapi anak laki-laki tersebut berhasil sembuh.
Dia lalu berulang kali mencoba untuk membuat bocah tersebut kembali tertular cacar, nyatanya dia tidak pernah kembali sakit.
Jenner pun telah menunjukkan imunisasi cacar. Kemudian, pada 1797, dia menyerahkan makalah ke Royal Society yang menjelaskan eksperimennya.
Tetapi, Jenner diberi tahu bahwa idenya terlalu revolusioner dan membutuhkan lebih banyak bukti. Tanpa gentar, ia bereksperimen pada beberapa anak lain, termasuk putranya sendiri yang berusia 11 bulan.
Baca Juga: 15 Juta masyarakat Indonesia bisa mendapatkan vaksin Covid-19 di akhir tahun 2020
Pada 1798, hasil akhirnya dipublikasikan dan Jenner menciptakan kata vaksin dari bahasa Latin 'vacca' untuk sapi.
Kritikan terhadap Edward Jenner
Jenner juga pernah diejek secara luas. Kritikus, terutama pendeta, menyatakan, menyuntik seseorang dengan materi dari hewan yang sakit adalah tindakan yang menjijikkan dan tidak saleh.
Pada 1802, sebuah kartun satir memperlihatkan orang-orang yang telah divaksinasi menumbuhkan kepala sapi. Tetapi, keuntungan nyata dari vaksinasi dan perlindungan yang Jenner berikan merupakan pembuktian dari keberhasilan vaksin tersebut.
Jenner menjadi terkenal dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk meneliti dan memberikan pandangan tentang perkembangan vaksinnya. Ia melakukan penelitian di sejumlah bidang pengobatan lainnya juga tertarik pada pengumpulan fosil dan hortikultura.
Dia meninggal pada 26 Januari 1823.
Baca Juga: Ma'ruf Amin minta sertifikasi halal vaksin Covid-19 mulai diproses