Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Ekonomi global masih lemah melihat dua kekuatan yakni Amerika Serikat (AS) dan China yang masih melesu. Di AS, defisit anggaran masih terjadi di tahun ini menunjukkan efek Covid-19 di anggaran jelas terlihat.
Lalu di China ekonomi mereka terhantam dengan kebijakan berbagai inisiatif Presiden Xi Jinping untuk mengurangi ketergantungannya pada real estat. Pengaturan ketat sektor-sektor pendidikan hingga teknologi serta digabungkan dengan kekurangan listrik dan tekanan pandemi.
Bank of America Corp dan Citigroup Inc pesimistis target pertumbuhan ekonomi dari bank sentral China 8% pada tahun ini tidak akan tercapai. Mereka juga memperingatkan kemerosotan bisa berlangsung hingga tahun depan, memaksa pertumbuhan ekonomi di bawah 5%.
Ahli strategi di Bank of America menilai, Xi Jinping mungkin akan merangkul restrukturisasi ekonomi sekali dalam dua dekade yang mirip dengan modernisasi Deng Xiaoping pada akhir 1970-an dan pembenahan Zhu Rongji atas perusahaan negara dan keuangan pada 1990-an.
“Kami memperkirakan pertumbuhan China 7,7% tahun ini dan 4% pada tahun 2022,” ujar ahli strategi Bank of America yang dipimpin Ajay Kapur.
Baca Juga: Ini Langkah yang Dipertimbangkan The Fed, Jika AS Berstatus Default
China bertekad untuk mengubah model ekonominya dari tahun-tahun booming-nya, di mana negara itu terbebani utang dan mendorong dirinya untuk menjadi ekonomi terbesar kedua.
Xi Jinping sekarang mengawasi rencana untuk menstabilkan pertumbuhan utang guna mengurangi risiko keuangan. Ini akan mengekang ketidaksetaraan dan menyalurkan sumber daya keuangan ke manufaktur berteknologi tinggi untuk melawan ancaman pembatasan teknologi dari AS.
Data perekonomian yang dirilis minggu lalu sudah menunjukkan perlambatan tajam dalam pertumbuhan menjadi 4,9% pada kuartal ketiga dari 7,9% pada kuartal sebelumnya. Kemungkinan lebih besar perekonomian akan terus turun karena kekurangan listrik terus berlanjut.
Bahkan sebelum pandemi melanda, China mengejutkan para ekonom dengan pertumbuhan yang lebih lambat dari perkiraan yang disebabkan tekad Beijing untuk mengurangi risiko utang. Artinya, Beijing menghindari stimulus luas bahkan ketika perang perdagangan AS-China mengancam ekspansi.
Setelah pelonggaran moderat untuk meredam dampak terburuk dari virus corona, kebijakan pengendalian utangnya dilanjutkan, dengan perusahaan real estat seperti China Evergrande Group merasakan dampak terbesar.
Xi Jinping juga mulai berusaha membentuk kembali teknologi konsumen, les privat, dan sektor real estat, dengan para pejabat berargumen bahwa mereka mewakili penggunaan sumber daya negara yang terbatas secara boros. Para pejabat sebagian besar menerima perlambatan yang dihasilkan.
Sedangkan, rival China, AAS masih saja merasakan defisit anggaran mencapai US$ 2,772 triliun selama tahun fiskal 2021, seperti dikutip Reuters pada Minggu (24/10). Nilai itu masih di bawah rekor kekurangan 2020 sebesar US$ 3.132 triliun. Departemen Keuangan AS mengakui selama dua tahun berturut-turut terjadi pengeluaran besar-besaran untuk mendukung rumah tangga dan bisnis karena pandemi virus corona.
Penurunan defisit senilai US$ 360 miliar menunjukkan bangkitnya kegiatan ekonomi tahun ini karena peluncuran program vaksin Covid-19. Bantuan sosial kepada rumah tangga membantu mendorong pemulihan yang kuat dari resesi tahun lalu.
"Pernyataan anggaran bersama hari ini adalah bukti lebih lanjut bahwa ekonomi Amerika berada di tengah-tengah pemulihan," kata Menteri Keuangan Janet Yellen.
Ekonomi AS berada di jalur untuk tumbuh sebanyak 6% tahun ini dalam pemulihan yang didorong oleh langkah-langkah darurat yang diberlakukan di bawah pemerintahan Presiden Demokrat Joe Biden dan pendahulunya, Donald Trump dari Partai Republik. Dikombinasikan dengan peluncuran vaksin terhadap Covid-19 akhir tahun lalu dan berakhirnya penguncian selama tahun ini, program federal telah melepaskan gelombang belanja konsumen yang mendorong pertumbuhan tercepat sejak 1980-an.
Penerimaan untuk tahun fiskal penuh, yang berlangsung dari 1 Oktober hingga 30 September, berjumlah US$ 4,046 triliun. Nilai itu meningkat sebesar US$ 626 miliar, atau 18,3%, dari tahun fiskal 2020, dengan pajak penghasilan individu dan bisnis yang lebih tinggi dari ekonomi yang membaik memicu kenaikan.
Pengeluaran fiskal AS tahun 2021 melonjak US$ 266 miliar atau 4,1% menjadi US$ 6,818 triliun, dengan peningkatan yang didorong oleh pengeluaran berkelanjutan dari undang-undang yang diberlakukan untuk mendukung ekonomi melalui pandemi, kata Departemen Keuangan AS.