Reporter: Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro
MOSKOW. Kelompok G-20 siap menggelar pertemuan di Moskow, pada pekan ini. Konferensi yang dihadiri Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari 19 negara plus Uni Eropa bakal membahas kondisi perekonomian global terkini.
Para pengambil kebijakan ini akan bertemu di tengah sensitivitas pasar menyikapi rencana Bank Sentral Amerika Serikat memangkas program pembelian surat utang senilai US$ 85 miliar per bulan. Kondisi itu ditambah kebijakan China yang berniat menyeimbangkan perekonomiannya. Di kuartal kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi China melambat.
Di forum tersebut, G-20 berupaya mencari kepastian bahwa kebijakan AS dan China tidak akan berefek buruk ke perekonomian dunia. Yang pasti, arus keluar dana investasi di pasar negara emerging market begitu besar setelah The Fed mengumumkan rencana pemangkasan stimulus. Kondisi itu memaksa para pengambil kebijakan di negara berkembang mengambil langkah antisipatif.
Indonesia dan Brasil misalnya mengerek suku bunga. Kemudian India memperketat likuiditas lantaran nilai tukar rupee merosot ke rekor terburuk. Sedangkan Bank Sentral Turki mengintervensi pasar demi menjaga mata uang lira.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Christine Lagarde, menjelaskan pertimbangan utama ke depan adalah memperbaiki kebijakan moneter yang tidak konvensional. "Menjalani tahapan dengan hati-hati dan berkomunikasi secara jelas akan sangat penting," kata Lagarde, seperti dikutip Reuters, Selasa (16/7).
Korea Selatan, misalnya, begitu mengkhawatirkan kebijakan The Fed. Sebelum menerapkan kebijakan, Menteri Keuangan Korea Selatan meminta The Fed mempertimbangkan tidak hanya kondisi ekonomi domestik, juga efek terhadap pasar global.
Gubernur The Fed Ben S Bernanke tidak akan hadir di Moskow, karena harus memberikan paparannya selama dua hari di depan Kongres Amerika Serikat.
Kanada enggan memberikan dukungan atas kritik negara emerging market terhadap AS. Seorang pejabat senior Kanada, sebelum pertemuan Moskow, merespons positif aktivitas sektor swasta di AS dan akan mendukung kebijakan yang sejalan dengan pengelolaan ekonomi di negara tetangga itu.
Di bagian lain, kebijakan Pemerintah China juga menuai reaksi. Pejabat keuangan Jepang menyatakan Tokyo mengajukan pertanyaan kepada Bank Sentral China mengenai dampak yang lebih luas terkait kebijakannya. Bank Sentral China berupaya mengendalikan kredit perbankan di negeri itu, termasuk praktek shadow banking.
"Situasi di China tak begitu jelas. Di forum G-20, kami ingin otoritas setempat memperjelas berbagai data dan masalah itu," kata Mitsuhiro Furusawa, Wakil Menteri Keuangan Jepang untuk Hubungan Internasional.