Sumber: The Star | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
PETALING JAYA. Aksi jual yang terjadi selama dua hari pada pekan lalu atas mata uang dan saham di sejumlah negara berkembang menimbulkan pertanyaan: apakah hal ini akan menjadi awal krisis finansial yang baru?
Seperti yang diketahui, pada akhir pekan lalu, terjadi penurunan tajam nilai mata uang dan nilai kapitalisasi pasar saham yang terjadi di sejumlah emerging market. Yang mencemaskan, aksi jual di negara berkembang ini juga berdampak pada pasar saham AS dan Eropa.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya guncangan global. Tak mengherankan jika banyak pelaku pasar yang mempertanyakan apakan ini akan menandakan dimulainya penyebaran krisis ekonomi yang lebih luas lagi?
Malaysia bukan salah satu negara yang tertekan paling hebat. Namun, mata uang mereka, ringgit, juga turut melemah sejalan dengan tren sebesar 1,1% versus dollar AS pada pekan lalu. Jika ditotal, sepanjang tahun ini, pelemahan yen sudah keok 1,7%.
Analis market asal AS menyebut kondisi ini sebagai "flu emerging market". Selain itu, sejumlah media global banyak yang memfokuskan pada pelemahan individual pasar finansial negara berkembang.
Meski demikian, jika ditarik lebih luas lagi, aksi jual besar-besaran tersebut merupakan respon dari rencana tapering the Federal Reserve yang akan segera diputuskan pada pertemuan dua hari yang berlangsung mulai hari ini. Hal ini menandakan berkurangnya dana panas atau hot money yang sudah disuntikkan ke dalam sistem finansial global.
Banyak investor global yang mencari yield tinggi dengan berinvestasi di emerging market. Namun, pesta telah usai. Aliran dana besar-besaran ke emerging market mulai melambat. Bahkan mungkin berhenti sama sekali.
Awal mula hot money
Yilmaz Akyuz, chief economist South Centre, menganalisa hal ini dalam papernya berjudul: Waving or Drowning?
Dalam tulisannya Akyuz menulis, ledakan arus dana asing ke emerging market dimulai pada awal 2000. Namun, sempat terhenti setelah Lehman Brothers bangkrut pada September 2008. Setelah itu, arus dana asing kembali mengalir deras.
Pada kurun waktu 2010-2012. nilai arus dana asing yang mengalir ke Asia dan Amerika Latin mencapai puncaknya sebelum terjadi krisis. Hal ini terjadi seiring kebijakan easy money dan tingkat suku bunga mendekati nol di AS dan Eropa.
Di AS, misalnya, the Fed memompa dana senilai US$ 85 miliar per bulan ke sistem perbankan untuk membeli obligasi. Harapannya, perbankan akan menyalurkan dananya ke sejumlah bisnis sehingga dapat memacu pemulihan ekonomi. Nyatanya, investor banyak yang menempatkan dana yang mereka terima di pasar saham dan negara-negara berkembang.
Dampaknya, beberapa pasar saham dan mata emerging market mengalami lonjakan yang signifikan. Namun, ada pula emerging market yang kurang beruntung karena dana panas tersebut menyebabkan mata uang mereka menguat sehingga, ekspor mereka menjadi tidak kompetitif.
Pada Mei hingga Juni 2013, the Fed mengumumkan akan melakukan pemangkasan (tapering) nilai stimulus mereka. Hal ini menyebabkan kejatuhan nilai mata uang yang tiba-tiba, termasuk di India dan Indonesia.
Meski demikian, the Fed menunda pelaksanaan tapering dengan maksud memberikan waktu yang cukup bagi pelaku pasar untuk bersiap. Hingga akhirnya, tapering benar-benar dilakukan pada Desember dengan nilai pengurangan stimulus sebesar US$ 10 miliar menjadi US$ 75 miliar.
Pada waktu itu, pasar sudah mengantisipasi kebijakan the Fed sehingga tidak terjadi panic selling di pasar saham global dan regional.
Nah, pada 23-24 Januari lalu, mata uang dan pasar saham negara berkembang kembali terguncang. Kondisi ini juga menjangkiti AS dan Eropa.
Jika situasi ini berlanjut pada pekan ini, hal tersebut merupakan sinyal fase baru langkah investor untuk mengurangi tingkat investasinya di emerging market. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada cadangan devisa dan neraca pembayaran emerging market.
Selain itu, akan terjadi pula pelemahan mata uang yang akan berdampak positif pada daya saing ekspor. Namun, dampak negatifnya adalah kenaikan tingkat inflasi (seiring lonjakan tingkat ekspor) dan melonjaknya nilai utang (karena banyak perusahaan yang harus membayar utang mereka dalam mata uang asing).
Itu sebabnya, pekan ini akan menjadi pekan penting untuk melihat apakah kondisi ini akan semakin memburuk atau stabil. Stabilitas ekonomi emerging market sangat mungkin terjadi jika the Fed memutuskan untuk tidak melakukan tapering saat ini. (The Star)