Sumber: Reuters | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Harga minyak naik lebih dari 2% pada Jumat (11/7) karena Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan pasar lebih ketat daripada yang terlihat. Sementara tarif AS dan kemungkinan sanksi lebih lanjut terhadap Rusia juga menjadi fokus.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah Brent berjangka ditutup naik US$ 1,72, atau 2,5%, menjadi US$ 70,36 per barel. Harga minyak mentah West Texas Intermediate AS naik US$ 1,88, atau 2,8%, menjadi US$ 68,45 per barel.
Dalam sepekan, harga minyak Brent naik 3%, sementara WTI mencatat kenaikan mingguan sekitar 2,2%.
IEA mengatakan pasar minyak global mungkin lebih ketat daripada yang terlihat, dengan permintaan didukung oleh puncak operasional kilang musim panas untuk memenuhi kebutuhan perjalanan dan pembangkit listrik.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Ditutup Anjlok Lebih dari 2% Kamis (10/7), Brent ke US$68,64
Kontrak Brent bulan depan untuk bulan September diperdagangkan dengan premi sekitar US$ 1,20 dibandingkan kontrak berjangka Oktober.
"Pasar mulai menyadari bahwa pasokan sedang ketat," kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.
Perusahaan energi AS minggu ini memangkas jumlah rig minyak dan gas alam yang beroperasi selama 11 minggu berturut-turut, kata perusahaan jasa energi Baker Hughes. Terakhir kali hal itu terjadi adalah pada Juli 2020, ketika pandemi Covid-19 memangkas permintaan bahan bakar.
Meskipun pasar sedang ketat dalam jangka pendek, IEA meningkatkan proyeksi pertumbuhan pasokan tahun ini, sekaligus memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan, yang menyiratkan pasar surplus.
"OPEC+ akan meningkatkan pasokan minyak secara cepat dan signifikan. Ada ancaman kelebihan pasokan yang signifikan. Namun, dalam jangka pendek, harga minyak tetap terdukung," ujar analis Commerzbank. OPEC+ adalah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) beserta sekutunya, termasuk Rusia.
Menambah dukungan terhadap prospek harga jangka pendek, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan Rusia akan mengkompensasi kelebihan produksi terhadap kuota OPEC+ tahun ini pada periode Agustus-September.
Indikasi lain dari permintaan jangka pendek yang kuat adalah prospek pengiriman sekitar 51 juta barel minyak mentah Arab Saudi ke China pada bulan Agustus, pengiriman terbesar dalam lebih dari dua tahun.
Namun, dalam jangka panjang, OPEC memangkas proyeksi permintaan minyak global pada periode 2026-2029 karena melambatnya permintaan China dalam Prospek Minyak Dunia 2025 yang diterbitkan pada hari Kamis.
Pada Jumat (11/7), Kementerian Energi Arab Saudi mengatakan bahwa kerajaan tersebut telah sepenuhnya mematuhi target produksi sukarela OPEC+.
Baca Juga: Geopolitik Timur Tengah Memanas, ICP Juni Melonjak Jadi US$ 69,33 Per Barel
Pada hari Kamis, kedua kontrak berjangka acuan turun lebih dari 2% karena investor khawatir tentang dampak tarif Presiden AS Donald Trump terhadap pertumbuhan ekonomi global dan permintaan minyak.
Trump mengatakan kepada NBC News pada hari Kamis bahwa ia akan membuat "pernyataan besar" tentang Rusia pada hari Senin, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Trump telah menyatakan frustrasinya terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin karena kurangnya kemajuan dalam mengakhiri perang di Ukraina dan meningkatnya pemboman Rusia terhadap kota-kota Ukraina.
Komisi Eropa akan mengusulkan batas harga minyak Rusia yang mengambang minggu ini sebagai bagian dari rancangan paket sanksi baru, tetapi Rusia mengatakan memiliki "pengalaman yang baik" dalam menangani dan meminimalkan tantangan tersebut.