Sumber: Reuters | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - SYDNEY. Harga minyak naik tipis di awal perdagangan sesi Asia karena kekhawatiran pasokan yang dipicu oleh meningkatnya ketegangan geopolitik di tengah perang yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina.
Kamis (21/11) pukul 09.00 WIB, harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman Januari 2025 menguat 28 sen atau 0,4% ke US$ 73,09 per barel.
Sejalan, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Januari 2025 naik 28 sen atau 0,4% ke US$ 69,03 per barel.
Sentimen bagi harga minyak datang setelah Ukraina menembakkan rudal jelajah Storm Shadow Inggris ke Rusia pada hari Rabu, senjata dari negara Barat terbaru yang diizinkan untuk digunakan pada target Rusia, sehari setelah menembakkan rudal ATACMS AS.
Moskow mengatakan, penggunaan senjata dari negara Barat untuk menyerang wilayah Rusia yang jauh dari perbatasan akan menjadi eskalasi besar dalam konflik tersebut.
Kyiv mengatakan, mereka membutuhkan kemampuan untuk mempertahankan diri dengan menyerang pangkalan-pangkalan belakang Rusia yang digunakan untuk mendukung invasi Moskow, yang memasuki hari ke-1.000 pada pekan ini.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Ditutup Melemah Terseret Pasokan AS yang Kuat
Sementara itu, stok minyak mentah Amerika Serikat (AS) naik 545.000 barel menjadi 430,3 juta barel dalam pekan yang berakhir pada 15 November, menurut Energy Information Administration, dibandingkan dengan ekspektasi analis dalam jajak pendapat Reuters untuk kenaikan 138.000 barel.
Inventaris bensin di minggu lalu naik lebih dari perkiraan. Sementara, stok sulingan membukukan penurunan yang lebih besar dari perkiraan.
Menambah pasokan, Equinor dari Norwegia mengatakan telah memulihkan kapasitas produksi penuh di ladang minyak Johan Sverdrup di Laut Utara setelah pemadaman listrik.
Sementara itu, OPEC+, mungkin akan kembali menunda peningkatan produksi saat bertemu pada tanggal 1 Desember karena permintaan minyak global yang lemah, menurut tiga sumber OPEC+ yang mengetahui diskusi tersebut.
OPEC+, yang memproduksi sekitar setengah dari minyak dunia, awalnya berencana untuk secara bertahap membalikkan pemotongan produksi dengan peningkatan kecil yang tersebar selama beberapa bulan pada tahun 2024 dan 2025.
Namun, perlambatan permintaan China dan global, ditambah dengan peningkatan produksi di luar kelompok tersebut, berpotensi menggagalkan rencana ini.