Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Uni Eropa (UE) kembali menunda penerapan aturan penting anti-deforestasi untuk tahun kedua berturut-turut.
Langkah ini memicu kritik bahwa blok tersebut melonggarkan ambisi iklimnya, sekaligus memberi lebih banyak ruang bagi industri dan mitra dagang untuk menyesuaikan aturan.
Melansir Reuters, peraturan Anti-Deforestasi Eropa (European Deforestation Regulation/EUDR) semula dijadwalkan berlaku mulai Desember 2024. Aturan ini mewajibkan perusahaan membuktikan bahwa komoditas seperti minyak sawit, daging sapi, kedelai, kopi, dan kakao tidak terkait dengan deforestasi maupun pelanggaran hak asasi manusia.
Namun, implementasi sempat ditunda tahun lalu karena tekanan dari kelompok industri.
Kini, Komisi Eropa mengusulkan penundaan lagi selama 12 bulan hingga akhir 2026 dengan alasan masalah teknologi informasi (TI) serta desakan untuk mengurangi kerumitan regulasi.
Penundaan ini menjadi bagian dari langkah yang lebih luas di Brussels untuk memprioritaskan daya saing ekonomi dibanding aksi iklim yang lebih ketat. Kelompok industri Eropa menilai aturan ini terlalu rumit dan mahal. Sementara mitra dagang seperti Indonesia, Malaysia, dan Amerika Serikat juga melobi agar aturan dilonggarkan.
Komisaris Lingkungan UE Jessika Roswall mengatakan perusahaan belum siap.
“Kami masih tidak bisa percaya bahwa kami benar-benar dapat menjalankannya tanpa mengganggu bisnis kami,” ujarnya kepada wartawan dalam jumpa pers, Selasa.
Baca Juga: IEU-CEPA Diteken, Perdagangan RI-Uni Eropa Diproyeksi Tembus US$ 60 Miliar
Ia membantah bahwa penundaan ini terkait dengan selesainya perundingan dagang dengan Indonesia awal pekan ini.
Pada Senin lalu, UE dan Indonesia mencapai kesepakatan yang mencakup industri kendaraan listrik, elektronik, dan farmasi, setelah perundingan selama satu dekade.
Indonesia Dorong Pengecualian untuk Petani Kecil
Penundaan ini muncul di tengah upaya industri sawit Indonesia yang melobi perubahan pada EUDR. Awal bulan ini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), telah menyampaikan masukan pada konsultasi Komisi Eropa terkait penyederhanaan pelaporan lingkungan.
GAPKI, yang menyambut baik penundaan EUDR, mendesak Brussels untuk mengecualikan petani kecil dari kewajiban pelaporan dan mengakui skema sertifikasi keberlanjutan nasional Indonesia, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), sebagai jalur kepatuhan.
“GAPKI dan para pemangku kepentingan di Indonesia mendukung tujuan regulasi ini untuk mengurangi deforestasi global,” ujar Ketua GAPKI Eddy Martono.
Tonton: RI Menang di Panel WTO: Kebijakan Biodiesel Uni Eropa Langgar Aturan
“Namun, potensi terpinggirkannya petani kecil Indonesia dari pasar Eropa—baik pada komoditas sawit, karet, kopi, kayu, maupun kakao—merupakan risiko besar bagi mata pencaharian mereka, serta pencapaian tujuan regulasi itu sendiri,” tambahnya.
Eddy mengatakan, pengakuan ISPO akan menyelaraskan persyaratan Uni Eropa dengan kerangka kerja nasional dan mengurangi biaya yang tidak perlu.
"Kekhawatiran kami tidak jauh berbeda dengan banyak pemangku kepentingan Eropa yang kritis terhadap peraturan tersebut," tambahnya, seraya menunjuk pada penyelesaian perjanjian perdagangan Indonesia-Uni Eropa sebagai "kesempatan sempurna" untuk berkolaborasi.