kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inilah nasib media asing di masa depan


Senin, 19 Mei 2014 / 09:46 WIB
Inilah nasib media asing di masa depan
ILUSTRASI. Alpukat adalah salah satu makanan untuk diet.


Reporter: Dessy Rosalina | Editor: Dessy Rosalina

Dua bola mata Myrna Lukito serius menatap layar komputer. Ibu satu anak ini menghabiskan waktu lebih dari satu jam memandangi laman Facebook. Sejumlah wajah yang dikenali langsung disapanya. Myrna bukan sekadar iseng membuka laman situs jejaring sosial milik Mark Zuckerberg tersebut. “Saya sedang mencari kabar tentang Jerman dari sejumlah kolega saya sewaktu tinggal di sana,” ujar dia.

Sekitar tahun 2009 lalu, Myrna berpulang ke Tanah Air. Selepas menamatkan gelar sarjana di Jerman, Myrna kembali ke Jakarta, tanah kelahirannya. Ketertarikan Myrna membuka laman Facebook bukan sekadar basa-basi. Sebagai alumni universitas Jerman, Myrna penasaran mengetahui kondisi ekonomi Jerman. “Saya mengikuti perkembangan dari beberapa media Jerman, misalnya Deutsche Welle (DW), tapi saya lebih suka tanya teman langsung,” ujar Myrna.

Rasa penasaran Myrna timbul karena setahun sejak dia mendaratkan kaki di Indonesia, media di Indonesia kerap memberitakan bahwa krisis finansial yang berawal dari Amerika Serikat (AS) telah menjangkiti ekonomi Eropa. Pemicunya adalah krisis utang yang membelit anggota Uni Eropa (UE) yakni Yunani, Irlandia dan Portugal.

Tentu hal ini memengaruhi Jerman, negara dengan status kekuatan ekonomi terbesar di daratan Eropa. Setelah beberapa mendapat informasi dari teman, Myrna meyakini bahwa ekonomi Jerman masih bisa bertahan. “Meski krisis banget, Jerman tetap lebih stabil dibandingkan Yunani dan negara lain,” tandas Mryna. Selama ini, Myrna tertarik menonton tayangan DW seputar informasi budaya dan gaya hidup saja.

Sedikit berbeda, Ilham Habibie lebih memercayai media konvensional dibandingkan sosial media. Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Komite Jerman, Austria dan Swiss ini memantau sejumlah media sebagai referensi untuk mengambil keputusan bisnis yang menyangkut Jerman ataupun kawasan Eropa. Sebut saja Spiegel online, Handelsblatt dan Sueddeutsche. “Saya sudah terbiasa dan secara konten, kualitasnya bagus,” ujar Ilham, putra sulung mantan Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.

Menangkap realita di negeri seberang

Kisah Myrna dan Ilham bisa jadi gambaran dua kanal dalam upaya menangkap realita di Jerman. Sayangnya, DW yang menyandang status sebagai media penyiaran publik atau didanai pemerintah, tidak cukup menarik minat Myrna dan Ilham dalam mencari kebenaran.

Saat ini, setidaknya ada tiga jaringan media publik yang menguasai panggung industri media dunia. Ketiganya adalah British Broadcasting Corporation (BBC) asal Inggris, Voice Of America (VOA) asal Amerika dan Deutsche Welle (DW) asal Jerman. Nezar Patria, Anggota Dewan Pers menilai, BBC menjadi satu dari tiga media publik internarsional yang masih memiliki dampak kuat kepada masyarakat dunia. “VOA cenderung menyuarakan pemerintah, sedangkan BBC lebih independen,” ujar dia.

Menurut Nezar, ada sejumlah faktor yang membuat BBC masih lebih unggul. Pertama, konten bermutu. BBC dinilai cukup berhasil menjaga kode etik dan standar jurnalisme. Kedua, diversifikasi pemberitaan. “Ada ruang cukup untuk suara publik. Misalnya liputan BBC tentang streotip kaum muslim di Inggris. BBC menampilkan sisi lain pemberitaan yang ditampilkan media pada umumnya,” ujar dia. Faktor ketiga, BBC cukup piawai dalam menggunakan teknologi. Saat ini BBC hadir pada hampir seluruh platform. Mulai dari radio, televisi, dan online. Mengutip situs BBC, total dana injeksi pemerintah mencapai £ 284 juta di tahun 2012/2013 atau sekitar Rp 5,39 triliun. Hingga akhir September kemarin, berita BBC dinikmati oleh 47,2 juta masyarakat dunia setiap minggu.

Jaringan media penyiaran publik sokongan Pemerintah Jerman juga cukup royal mengucurkan dana. Mengutip situs resmi, bujet operasional DW dari Pemerintah Jerman mencapai € 270 juta atau sekitar Rp 4,05 triliun (1€ = Rp 15.000). Dengan dana jumbo, bagaimana jangkauan dan dampak DW? Sejak berdiri pada tahun 1953 silam, DW disiarkan lebih dari 30 bahasa di dunia. DW mengabarkan informasi dari berbagai belahan dunia, khususnya Eropa, melalu radio, televisi dan situs online. Saat ini, tercatat ada sekitar 101 juta pasang mata saban minggu yang menikmati DW.

Bagi Agung Ardyatmo, kelebihan DW adalah menyajikan informasi budaya dan tren gaya hidup yang menarik dan up to date di Jerman dan Eropa. Atas dasar itulah, sejak empat tahun lalu, Agung merupakan penggemar setia tayangan Euromaxx, tayangan tentang budaya Eropa.

Bagi Agung, media publik seperti DW lebih menarik dalam menyajikan perihal sosial dan budaya, ketimbang berita tentang ekonomi, politik dan sebagainya. Asal tahu saja, di awal kelahirannya, jaringan media milik pemerintah memang dipercayakan mengemban tugas untuk menyebarkan sosial dan budaya negara tersebut. “DW mewakili karakter Jerman, unggul karena banyak tayangan dokumenter,” imbuh Myrna.

Umar Idris, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menilai, kualitas berita BBC, DW dan VOA sangat bagus. “DW menerapkan standar jurnalisme yang tinggi namun berbeda dari AS dan Inggris. Tiga negara ini memiliki potret jurnalisme yang dinamis dan kompetitif,” ujar Umar.

Yang pasti, menurut Umar, kehadiran media publik masih memiliki dampak siginfikan kepada kehidupan masyarakat. Pasalnya, kantor berita asing dibutuhkan masyrakat untuk mengetahui isu-isu yang berkembang di luar negeri. “Berita tentang Indonesia yang ada di kantor berita asing juga menarik karena kita mengetahui perspektif media asing terhadap peristiwa di dalam negeri,” jelas dia.

Ditantang sosial media

Bagaimana peran media publik di masa depan? Menurut Umar, agar bisa bertahan dari gempuran media swasta, kualitas konten merupakan resep paling penting. “Media publik justru diperlukan karena memakai dana publik jadi mengedepankan kepentingan publik. Berbeda dengan media swasta yang terkadang konflik kepentingan dengan pemilik atau pengiklan,” ujar dia.

Situs sosial media juga menjadi tantangan yang harus dihadapi media publik. Masih ingat revolusi Twitter di Mesir yang berujung pada kejatuhan Husni Mubarak, Presiden Mesir? Philip Howard, Profesor Komunikasi dari University of Washington menilai, penggunaan Twitter, Facebook,Youtube dan media digital lain telah membantu kelahiran revolusi politik di Mesir. Temuan Howard, kicauan tentang revolusi melonjak drastis dari 2.300 hari per hari menjadi 230.000 per hari, beberapa hari sebelum Mubarak mengundurkan diri di Februari 2011.

Pengaruh besar dari sosial media turut menciutkan nyali Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki.  Erdogan memblokir situs Twitter pada 20 Maret 2014, lantaran warga Turki menggunakan Twitter untuk menyebarkan  dugaan korupsi orang-orang dekatnya. Ada sekitar 10 juta pengguna Twitter di Turki. Kurang dari sepekan, Pemerintah Turki memblokir YouTube. Alasannya, percakapan antara pejabat pemerintah yang membahas kemungkinan perang dengan negara tetangga Suriah bocor di YouTube. “Pemblokiran dilakukan sebagai respon bocornya rekaman suara pejabat pemerintahan," tulis Badan Regulasi Media Turki, mengutip CNN.

Kendati semakin populer, kehadiran sosial media dinilai tidak bisa menggantikan peran tradisional, termasuk media publik. Pasalnya, “Tidak ada verikasi di sosial media, jadi kebenarannya masih diragukan. Masyarakat akan tetap mencari media resmi,” ujar Umar.

Di era serba canggih dan praktis, interaksi dengan internet kian tak bisa lepas dari gaya hidup masyarakat. Kendati begitu, bukan berarti perusahaan media telah ditinggalkan. Transformasi internet kini menggeser industri media dari cetak ke digital alias online. Itu sebabnya, perusahaan media kini kerap menampilkan di berbagai platform sosial media, mulai dari akun Twitter, Facebook hingga LinkedIn.

Coba tengok hasil riset lembaga non profit The Pew Research Center. Riset terbaru The Pew Research Center mengungkapkan, sebanyak 62% pengguna sosial media yang mencari berita lewat jejaring sosial Reddit. Twitter duduk di posisi kedua yang mewakili 52% pengguna sosial media untuk mencari berita. Selanjutnya, pengguna Facebook mencari berita sebanyak 47% dari total waktu yang digunakan saat membuka laman Facebook.  

Sejauh mana adaptasi teknologi menopang nasib media penyiaran publik di masa depan? Kita tunggu saja!




TERBARU

[X]
×