Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Amerika Serikat (AS) bakal mematok tarif impor aluminium buatan Rusia menjadi 200%. Kabar ini akhirnya mencuat kembali, setelah tahun lalu pernah dibahas.
Founder Traderindo Wahyu Tribowo Laksono menilai bahwa laporan-laporan AS terkait penerapan impor tinggi bagi produk aluminium Rusia seharusnya tidak terlalu mengejutkan. Pasalnya, tahun lalu ada laporan bahwa Gedung Putih sedang mempertimbangkan larangan langsung terhadap logam tersebut ataupun memberlakukan tarif yang sangat tinggi.
"Jadi kabar ini tidak terlalu menohok," kata Wahyu saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (8/2).
Wahyu mengatakan, peluang ditutupnya impor atau setidaknya tarif yang luar biasa tinggi seharusnya sudah diantisipasi. Di sisi lain, AS memang tidak tergantung kepada aluminium Rusia.
AS bukanlah pembeli aluminium Rusia yang signifikan yakni hanya menyumbang sekitar 10% dari total impor AS. Bahkan, pangsa aluminium impor Rusia ini terus menyusut. Teranyar, Rusia hanya menyumbang sekitar 2,3% dari aluminium yang diimpor ke Amerika Serikat.
Baca Juga: AS akan Tetapkan Tarif Tinggi bagi Impor Aluminium Rusia, Ini Efeknya ke Harga Global
Wahyu mencermati, yang diincar AS bukan soal aluminium atau Rusia secara langsung. Target terbesar di sini adalah Rusal yaitu produsen aluminium terkemuka dunia, yang didirikan oleh miliarder yang terdaftar di Forbes, Oleg Deripaska .
Deripaska dan perusahaannya, tidak asing dengan sanksi atau tekanan dari Washington terhadap bisnisnya. Meski demikian, isu apa pun bisa dijadikan permainan bagi harga aluminium saat ini.
Karena itu pula, harga aluminium tidak akan terpengaruh signifikan atas agresifnya AS.
Rusia adalah produsen logam terbesar kedua di dunia setelah China, terhitung sekitar 6% dari produksi global atau sekitar 70 juta ton aluminium diproduksi Rusia pada tahun lalu.
"Jika AS melanjutkan dan mengenakan tarif pada aluminium Rusia, kemungkinan akan berdampak terbatas pada pasar global," tutur Wahyu.
Menurut Wahyu, fluktuasi harga aluminium sangat potensial di tahun ini. Pembukaan kembali (re-opening) China pasca pandemi bakal menjadi pendukung utama naiknya harga. Selain itu, ancaman inflasi, agresivitas Fed dan penguatan dolar AS mulai mereda turut menopang harga logam mineral ini.
Konflik geopolitik masih ada walaupun bisa terantisipasi. Namun, ancaman negatif resesi global masih belum sirna.
Baca Juga: Begini Perkembangan Proyek Smelter Aluminium Adaro Energy (ADRO)
Satu faktor yang mendukung harga aluminium adalah risiko penerapan sanksi terhadap Rusal oleh pemerintah AS. Jika ini terjadi, itu bisa menyebabkan lonjakan harga secara tiba-tiba. Meskipun ini tampak semakin tidak mungkin seiring berjalannya waktu, kemungkinan sanksi tersebut meningkat jika harga aluminium turun, dan menghalangi shorting.
Wahyu berujar, aluminium ada potensi surplus di pasar global pada kuartal I-2023 sebesar 429 kt dan kembali ke defisit pada kuartal II-2023 sebesar 52 kt, lalu defisit lagi setelahnya.
Sementara, peluang permintaan akan meningkat mulai semester II-2023 dan bisa melebihi pertumbuhan pasokan. Pertumbuhan permintaan yang kuat di sektor otomotif dan pengemasan, ini akan lebih dari sekedar mengimbangi kelemahan dalam konstruksi, sektor industri tertentu, dan ekonomi yang lemah di Eropa.
Wahyu memperkirakan rata-rata harga aluminium bakal berkisar US$ 2.000 - US$ 3.300 per ton.
Mengutip Bloomberg, Kamis (9/2) harga Aluminium LME kontrak 3 bulan berada di level US$ 2.481 per ton.