Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Yen kembali melemah pasca intervensi yang dilakukan Bank of Japan (BOJ) pada Senin (29/4). Sebelumnya, kurs yen sempat menguat hingga ke level ¥ 155, dari sebelumnya di ¥ 160,24 per dollar Amerika Serikat (AS), level terlemah dalam 34 tahun.
Reuters melaporkan, kemarin, BOJ diperkirakan telah menghabiskan dana sekitar ¥ 5,5 triliun, setara Rp 572,13 triliun, untuk mengintervensi nilai tukar yen. Namun per pukul 15.00 WIB kemarin, yen kembali melemah 0,08% secara harian menjadi ¥ 157,94 per dollar AS. Bila dihitung sejak awal tahun, kurs yen sudah melemah 12%.
Yen kian melemah lantaran dollar AS kian perkasa setelah indeks biaya tenaga kerja Amerika Serikat diumumkan meningkat 4,2% secara tahunan. Di kuartal I tahun ini, AS mencatatkan kenaikan upah dan tunjangan. Selain itu, bank sentral AS diyakini akan menunda penurunan suku bunga acuan.
Baca Juga: Taiwan on Alert for Post-inauguration Chinese Drills
Pelaku pasar meyakini The Fed baru akan menurunkan suku bunga 25 basis poin paling cepat pada September tahun ini. "Kurs dollar AS masih akan lebih tinggi dari yen," kata Erik Bregar, Direktur Manajemen Risiko Valas dan Logam Mulia di Silver Gold Bull, seperti dikutip Reuters, kemarin.
Paul Ciana, analis teknikal Bank of America, menyarankan investor membeli kembali dollar AS jika memang terjadi penurunan. "Ini antisipasi potensi kenaikan lainnya pada kuartal II," pendapat dia.
PMI kontraksi
Pemerintah Jepang sendiri menyatakan siap menjaga kurs yen agar tidak ambrol. "Kami siap sedia selama 24 jam, jadi baik ada transaksi di London atau di New York, tidak masalah," kata Masato Kanda, Wakil Menteri Keuangan Urusan Internasional.
Secara fundamental, data ekonomi Jepang memang masih jauh lebih dari kata sempurna. Purchasing Manager's Index (PMI) final yang disusun Jibun Bank masih berada di level 49,6 di April. Ini menandakan aktivitas produksi Jepang masih kontraksi.
"Data PMI terbaru menjadi gambaran lemahnya kinerja sektor manufaktur Jepang," terang Paul Smith, S&P Global Market Intelligence. Indeks aktivitas pabrik di Jepang juga menyusut karena penurunan produksi dan berkurangnya pesanan baru.
Baca Juga: Fed to Hold Rates Steady as Inflation Dims Hopes for Policy Easing
Pesanan di perusahaan Jepang yang turun membebani biaya produksi, sehingga perusahaan memilih menggunakan persediaan ketimbang meningkatkan output. Pesanan turun karena lesunya permintaan terutama di otomotif. Pesanan untuk ekspor juga turun karena rendahnya permintaan dari negara tujuan ekspor, seperti China dan Amerika Serikat.