Reporter: Dessy Rosalina | Editor: Dessy Rosalina
TOKYO. Nasib ekonomi Amerika Serikat (AS) kian hari kian mencemaskan. Bukan cuma Amerika, pemerintah Jepang dan China juga ikutan berdebar mendekati tenggat akhir debt ceiling pada 17 Oktober mendatang. Wajar jika China dan Jepang harap-harap cemas. Pasalnya, kedua negara adidaya di Asia ini merupakan pemegang surat utang AS terbesar. Keduanya memiliki surat utang AS hingga mencapai US$ 2,4 triliun.
Menteri Keuangan Jepang, Taro Aso mengatakan, pihaknya bersiap mengantisipasi andai AS tertimpa gagal bayar alias default. "Jepang menyadari bahwa nilai dari kepemilikan surat utang AS akan menurun jika default," ujar Aso, mengutip People’s Daily. Aso menambahkan, dia bakal memasukan isu gagal bayar AS sebagai agenda pertemuan G20. Pada 10-11 Oktober mendatang, para menteri keuangan dan bank sentral anggota G20 bakal bertemu di Washington, AS. Kompak, Wakil Menteri Keuangan China, Zhu Guangyao mendesak parlemen AS agar menghindari perdebatan politik untuk mencegah gagal bayar.
Mengutip Departemen Keuangan AS, China mengempit surat utang AS sebesar US$ 1,28 triliun per akhir Juli kemarin. Selanjutnya, Jepang menyimpan surat utang AS sebesar US$ 1,14 triliun. China menyalip posisi Jepang sebagai pemegang surat utang AS terbesar pada September 2008. Aset China di surat utang AS melesat drastis sebesar 107% sejak tahun 2008 hingga Juli 2013. Di periode yang sama, kepemilikan Jepang atas surat utang AS mendaki 84%.
Pergeseran alokasi aset
Kalangan pasar memprediksi, andai AS gagal bayar, predikat surat utang AS bakal runtuh dalam seketika. Pasalnya, tidak cuma Jepang dan China yang mengoleksi surat utang AS. Hampir semua bank sentral di seluruh dunia menyimpan surat utang AS sebagai salah satu instrumen cadangan devisa.
Analis menilai, gagal bayar berpotensi memicu terjadinya pergeseran aset alokasi bagi para pemegang surat utang AS. “Bank sentral akan mengkaji ulang portfolio cadangan devisa mereka yang berbentuk surat utang AS," ujar Yuichi Kodama, Kepala Ekonom Meiji Yasuda Life Insurance Co di Tokyo, seperti dikutip Bloomberg.
Popularitas dollar Amerika sebagai safe haven juga bakal terguncang. Ini akan memicu kenaikan suku bunga acuan AS sekaligus menimbulkan gonjang-ganjing di pasar mata uang global. Sayangnya, reaksi pemimpin dunia yang gerah dengan kondisi AS masih tidak digubris. Hingga saat ini, dua kubu politik AS yakni Partai Republik dan Partai Demokrat masih menemui jalan buntu.
Ancaman gagal bayar AS semakin membesar lantaran penghentian operasional AS alias shutdown masih berlangsung hingga sepekan. Peristiwa default terakhir kali menimpa AS pada tahun 1790. Di tahun 2011 lalu, AS menghadapi kemelut yang sama. Kala itu, Kongres menyetujui kenaikan batas atas utang AS pada detik-detik terakhir. Namun, saat itu kecemasan telah menjalar pelaku pasar global. S&P juga menurunkan prospek utang AS dari stabil menjadi negatif.
Catatan Bloomberg, di tahun 2011 ada sebesar US$ 6 triliun lenyap karena kejatuhan serempak indeks saham di seluruh dunia. Menteri Keuangan AS, Jack Lew bilang, saat ini pemerintahan AS hanya memiliki kas sekitar US$ 50 miliar.